Pers Rilis Peluncuran dan Bedah Buku Hari-hari Terakhir
Bersama GusDur
Museum Nasional, Rabu, 25 Juli 2018
Langkah Perjuangan Demokrasi
“… Seperti kepada sahabat
dekatnya, Abdullah Syafei’ie secara terbuka mengemukakan kegelisahannya sebagai
orang Aceh. ‘Sejak jaman kolonial Belanda, kami tidak pernah merdeka!’ katanya
dengan nada mengeluh sekaligus memprotes. ‘Tapi kenapa kita harus terlibat
konflik?’ saya balik bertanya, mengajukan apa yang ada dalam pikiran. …” Itulah
sepenggal kisah dalam buku Hari-hari
Terakhir Bersama Gus Dur karya Bondan Gunawan.
Masih segar dalam ingatan,
bagaimana Bondan sebagai Pjs Sekretaris Negara (Sesneg) menemui Panglima
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 16 Maret 2000. Pertemuan itu ia tempuh untuk
melakukan pendekatan kemanusiaan kepada sesama anak bangsa yang tidak puas
terhadap pemerintah pusat.
Kisah pertemuan Bondan dan Abdullah
Syafei’ie tersebut memang sudah beredar di media cetak dan televisi. Namun,
kita kali ini bisa melihat lebih rinci latar belakang tersebut diluncurkan
dalam sebuah acara sederhana di Museum Nasional, Rabu malam, 25 Juli 2018.
Acara peluncuran yang bertajuk “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi untuk
Indonesia Raya”, menghadirkan dua pembicara, yaitu Prof. Dr. Mochtar Pabottingi
dan Dr. Yudi Latief.
Buku tersebut sebenarnya
menceritakan kisah persahabatan Bondan dan Gus Dur yang berjibaku merintis
tegaknya demokrasi di Indonesia. Tidak terbayangkan, dua sahabat ini – bersama beberapa
rekan mereka – berinisiatif dan memprakarsai berdirinya Forum Demokrasi
(Fordem) tahun 1991. Mereka seperti kumpulan “orang aneh” yang mengambil opsi
untuk melawan kekuasaan rezim Orde Baru Soeharto. Menurut F. Rahardi, yang
menulis Kata Pengantar buku ini, Fordem merintis keberanian berpikir,
berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat di negeri ini.
Memang perjuangan berdemokrasi
telah muncul jauh sebelum Fordem berdiri dalam sikap 50 orang yang secara
frontal berseberangan dengan Orde Baru melalui Petisi 50. Namun, Petisi 50
secara spesifik mengoreksi kebijakan Presiden Soeharto, gerakan yang berbeda
dengan Fordem. Fordem menentang arus besar penyeragaman berpikir, yang secara
massif diterapkan sebagai sarana depolitisasi di negeri ini pada era kekuasaan
Soeharto.
Dengan demikian, buku yang
muncul pada momen 20 tahun Reformasi di negeri ini menjadi pelengkap atas puzzle perjuangan menegakkan demokrasi.
Demokrasi di Indonesia pasca Reformasi bukan hal yang tiba-tiba saja mewujud.
Persahabatan Bondan dan Gus Dur yang dalam perjalanannya membidani lahirnya
Fordem merupakan rintisan perjuangan ke arah demokrasi di negeri ini. “Kiprah
Pak Bondan di Fordem sangat berpengaruh sebab dia memiliki pandangan yang
tajam, seimbang dan sehat mengenai demokrasi yang harus diimplementasikan di
Indonesia. Dia peka terhadap deviasi-deviasi kepicikan seakan-akan antara agama
dan kebangsaan harus memilih,” tulis Romo Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.,
dalam salah satu komentarnya terhadap buku karya Bondan ini.
Persahabatan Bondan dengan Gus
Dur telah menorehkan rintisan demokrasi di negeri ini. Bondan – yang berlatar
belakang “abangan” dan aktivis pergerakan – berkolaborasi dengan Gus Dur yang
lahir dari kehidupan “santri”, yang didasari tradisi intelektualitas kuat. Dua elemen
ini saling mengisi dan memberi warna. Tidak mengherankan jika keduanya memiliki
kesamaan visi penghormatan terhadap martabat kemanusiaan, kepedulian yang besar
kepada golongan minoritas, dan elan perjuangan untuk menempatkan semua warga negara
berkedudukan sama di muka hukum. Perjuangan dua figur yang membidani lahirnya Fordem
ini dilihat F. Rahardi sebagai jejak-jejak perintis.
“Sebagai perintis, nasib
Fordem memang seperti semua perintis, akan mati atau dilupakan setelah yang
diperjuangkan tercapai. Bondan sempat sebentar ‘mencicipi’ masuk ke dalam
pemerintahan, tetapi segera dihajar kiri kanan, lalu tersingkir,” tulis Rahardi
dalam Kata Pengantar. “Nasib perintis memang hanya berada di kawasan tandus,
saat tanaman lain belum ada. Dalam kaitan dengan demokrasi, keterbukaan, dan
penghargaan terhadap HAM, Bondan dan Gus Dur punya andil sangat besar dimulai
pada saat merintis gerakan melalui Fordem,” lanjut Rahardi.
Momen 20 tahun Reformasi –
tepatnya pada Mei lalu – menjadi saat yang baik untuk merefleksikan
potongan-potongan kisah bagi kondisi bangsa kita dewasa ini. Secara pribadi,
Bondan mengungkapkan bahwa banyak cerita muncul dan beredar, yang masih berkabut
hingga saat ini. “Yang jelas,” ungkap Bondan, “saya dan Gus Dur menolak segala
akitivitas yang dikemas atau bisa ditafsirkan secara konspiratif. Kami berdua
saling meyakini bahwa banyak hal yang ada di hadapan kita, sebenarnya dapat
dielaborasi, dicari titik temunya dalam proses keterbukaan. Prinsip
transparansi menjadi begitu penting dalam proses mencari kesepahaman ini.”
Proses mencari titik temu
bersama itulah yang hingga kini dinilai Bondan sebagai hal yang harus
diperjuangkan dalam kehidupan bersama. Huru-hara dan ribut-ribut yang tidak
bermutu sudah banyak menghiasi media kita, mempertontonkan banyak sandiwara
yang hanya merugikan bangsa dan negara ini. Menurut Bondan, momen kali ini
menjadi saat yang tepat untuk merefleksikan perjuangan kita sebagai bangsa
selama ini, sembari memberi bekal bagi generasi muda.
“Sebagai orang muda, sudah
selayaknya dipahami bahwa bentuk-bentuk kegiatan bersama demi kepentingan yang
lebih besar itu pasti penuh resiko dan tidak jarang berbuah cemooh. Namun,
tercapainya sesuatu yang kita pikirkan sebagai tujuan yang lebih besar dan
luhur, dibanding pujian dan kenikmatan yang bersifat sesaat, harus kita
perjuangkan. Jangan pernah lelah!” tegas Bondan. Dia melanjutkan bahwa para
pemimpin mestinya harus rela dan berani untuk tidak populer demi tercapainya
maksud baik bagi semakin banyak orang, bagi saudara saudari satu tumpah darah.
Pesan tersebut muncul dan
seolah menjadi kristalisasi pengalaman Bondan yang hanya sebentar membantu
terlibat di puncak pemerintahan pada era Gus Dur. Meskipun demikian, Bondan
tetap hidup biasa-biasa saja. Padahal, banyak akitivis yang gagal lalu
frustrasi, kemudian berubah dari pemberi solusi menjadi bagian dari masalah. Namun,
Bondan justru tidak banyak omong dan tidak terlalu popular menjadi langganan
media, walaupun banyak informasi penting yang bisa digali dari sumber ini. Hal
ini dirasakan oleh Gunretno, Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan
Kendeng (JMPPK) yang banyak belajar dari Bondan. “Ketika itu, saya terkejut
melihat di televisi yang menayangkan pak Bondan mengundurkan diri sebagai
menteri untuk mempermudah penyidik memeriksanya karena tuduhan korupsi. Sebuah
keputusan sangat berani karena tak semua
orang bisa legawa. Sampai sekarang, mana ada pejabat publik yang berani
mengundurkan diri jika belum divonis pengadilan?” jelas Gunretno yang masih
terus berjuang bersama masyarakat Kendeng hingga kini.
Buku karya Bondan yang
diluncurkan ini mengisahkan perjuangannya bersama Gus Dur di luar pemerintahan.
Meskipun hanya sebentar di dalam pemerintahan karena dihantam kiri-kanan,
kiprah mereka meninggalkan banyak kemajuan bagi kebaikan bersama di negeri ini.
Pergaulan mereka dengan berbagai elemen sesama anak bangsa dari aneka latar
belakang, menyemaikan benih-benih semangat persaudaraan sejati yang bisa kita
nikmati hingga kini.
Dua sahabat ini memiliki
sebutan untuk masing-masing yang khas. Bondan bersama beberapa rekan seperjuangannya
berhasil menyematkan julukan istimewa bagi Gus Dur sebagai ‘Guru Bangsa’.
Sementara itu, Gus Dur menyebut Bondan sebagai “banteng yang berkeliaran di
mana-mana, di luar habitatnya” – sebagai kiasan bahwa dialah seorang
nasionalis, Marhaenis, atau Soekarnois yang bergerak di luar organisasi resmi
kaum nasionalis. Bahkan, ketika berkunjung ke Israel, Gus Dur memperkenalkan
Bondan di forum internasional sebagai seorang Soekarnois dan tokoh klandestin
pelanjut pemikiran Soekarno di zaman pemerintahan rezim Orde Baru Soeharto.
Suatu ketika, Gus Dur pernah mengatakan
kepada Bondan bahwa karena dirinya mendalami dan memahami kitab kuning, dia
(dan para kyai NU) percaya bahwa “setiap masalah selalu ada jalan keluarnya. Betapapun
rumitnya, selalu bisa dicarikan solusinya, tetapi bukan menyederhanakan
masalah.”
Inilah yang merujuk pada
nilai-nilai ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah. Menurut Gus Dur,
itulah sebabnya dalam konteks nasional, pemuka-pemuka Islam di Indonesia
memilih NKRI sebagai negara-bangsa (nation
state) yang mengutamakan wawasan serta pendekatan kebangsaan dan bukan negara
Islam!
Terkait refleksi kebangsaan
tersebut Bondan menandaskan bahwa di Indonesia, tidak pernah terjadi pergantian
kekuasaan secara radikal! “Ketika terjadi instabilitas politik,” tegas Bondan, “tak
pernah ada presiden yang ingin mempertahankan kekuasaan dengan segala cara,
misalnya membenarkan diri lalu memenangkan konflik horizontal.” Menurut
refleksinya, presiden Indonesia berusaha menyatu dengan rakyatnya. Itulah yang
terjadi pada Soekarno. Sebaliknya, tidak pernah ada percobaan kudeta secara
radikal yang didukung, lalu dibenarkan oleh rakyat.”Inilah salah satu keutamaan
kita sebagai bangsa yang besar.”
Oleh karena itu, melakukan
reformasi pada hakikatnya berarti melakukan pemurnian. Dikaitkan dengan momen 20 tahun Reformasi di
Indonesia, gerakan reformasi – di satu pihak – muncul sebagai reaksi berupa
penolakan terhadap berbagai penyimpangan, kekeliruan, penyalahgunaan wewenang,
yang berakibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pasca pemerintahan Orde
Baru. Sedangkan di lain pihak, reformasi merupakan upaya memasuki era baru
untuk membenahi dan mengembalikan sistem dari negara kekuasaan menjadi negara kesejahteraan
yang berkeadilan sosial. “Maka, demokrasi politik saja tidaklah cukup, harus
ada demokrasi ekonomi. Inilah demokrasi Indonesia yang sesungguhnya. Harapan
saya, kita – terutama generasi muda – dapat bersama-sama bergandengan tangan
menciptakan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi bagi Indonesia Raya,”
demikian Bondan Gunawan. (*)