Rabu, 27 Oktober 2010

Pengokohan posisi militer dalam UU Pemilu Myanmar

Tanggal 7 November 2010 yang akan datang, Myanmar akan menyelenggarakan pemilu.  Pertama, ini adalah pemilu pertama yang diadakan setelah pemilu terakhir 20 tahun yang lalu. Kedua, pemilu ini diselenggarakan oleh junta militer untuk membuktikan bahwa Myanmar adalah negara yang  demokratis.

Meski demikian, melihat praktek-praktek tahapan kepemiluan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar, sulit untuk menyebut pemilu ini akan menjadi ‘free and fair election’.

Penolakan rezim militer terhadap hasil pemilu 1990 yang dimenangkan oleh NLD, partai pro demokrasi pimpinan Aung Suu Kyi dan beberapa partai pro demokrasi lainnya.  Penyusunan konstitusi untuk memberikan jalan bagi referendum, untuk melegalisasi penolakan hasil pemilu 1990. Pelaksanaan referendum yang dipaksakan, mengingat Myanmar saat itu luluh lantak diterjang badai Nargis.  Hingga pelaksanaan sosialisasi pemilu yang menguntungkan militer atau partai yang didukung oleh militer. Dan entah apa lagi pada hari H dan pasca pemilu.

Dalam UU Pemilu Myanmar, kita dapat melihat banyak pasal-pasal yang membuktikan adanya keinginan militer untuk tetap memegang kekuasaan.  Berdasarkan pasal-pasal ini, militer mungkin akan melanggar hak-hak fundamental rakyat atas nama keamanan negara dan ketentraman umum. Buktinya sudah terjadi. Siapapun yang mengkritik proses dan prinsip-prinsip UU Pemilu akan dihadang hukuman penjara hingga 20 tahun. Termasuk di dalamnya adalah Aung San Suu Kyi dan 2.000 tahanan politik lainnya.

Salah satu tujuan diadakannya Pemilu di Myanmar adalah peralihan kekuasaan dari militer ke sipil.  Tetapi Pasal 6 dalam UU Pemilu Burma jelas-jelas mengatakan bahwa  "memungkinkan Departemen Pertahanan untuk dapat berpartisipasi dalam kepemimpinan politik Nasional Negara."  Jelas, junta militer tidak ingin melepas kekuasaannya.  Kandidat kuat yang muncul di berbagai Negara bagian adalah pensiunan jenderal atau sengaja memensiunkan diri agar dapat menjadi kandidat.

Militer juga akan menguasai parlemen hasil pemilu ini. Bisa dilihat dari adanya  aturan pencadangan 25% dari jumlah kursi yang tersedia  baik di Parlemen Nasional (DPR), Parlemen Negara Bagian dan Regional (DPRD)  untuk militer. Anggota parlemen yang akan duduk di sana adalah orang yang ditunjuk oleh militer atau dengan kata lain, kandidat yang berasal dari militer itu sendiri.
Melalui UU Pemilu, militer juga menghalangi sejumlah pimpinan oposisi untuk ikut serta menjadi kandidat dalam pemilu, bahkan tidak mengizinkan untuk ikut pemungutan suara di hari H. Termasuk Suu Kyi dan 2.000 tahanan politik lainnya. Padahal harus dipisahkan antara tahanan politik dan tahanan criminal.

Militer juga menghalangi hak politik rakyat dengan tidak melaksanakan pemilu di 300 village tracts (kelompok desa) dan 4 township (kelompok kota) di beberapa negara bagian. Alasan dari pihak militer adalah karena daerah-daerah tersebut ‘tidak memungkinkan untuk penyelenggaraan pemilu yang bebas dan jujur’. Tetapi muncul kecurigaan, alasan sebenarnya adalah negara-negara bagian ini tidak mau menerima pengaruh militer.

Karena itu, keputusan pemerintah Myanmar yang menolak keberadaan pemantau pemilu dan media internasional untuk meliput pelaksanaan pemilu menimbulkan kecurigaan dan menambah keyakinan masyarakat internasional terjadinya banyak pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu ini.

Catatan : 1 village tracts terdiri dari 2 atau 10 desa. 1 township terdiri dari 2 distrik dan beberapa village tracts.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar