Saya akan mencoba membahas Sistem Perwakilan Proporsional terlebih dahulu, meskipun urut-urutan dalam sistem pemilu biasanya adalah sistem Pluralitas – Mayoritarian. Ini karena sebagian besar negara-negara di dunia menggunakan sistem perwakilan proporsional, termasuk Indonesia. Indonesia menganut sistem perwakilan proporsional sejak pertama kali mengadakan pemilu yaitu di tahun 1955 hingga hari ini.
Sistem Perwakilan Proporsional merupakan sistem pemilu yang bertujuan untuk menghasilkan parlemen yang representatif dan proporsional. Proporsional artinya sesuai dengan proporsi yaitu jika sebuah partai mendapatkan suara nasional sebanyak 35%, maka partai tersebut akan mendapatkan 35% kursi di parlemen. Jika partai tersebut mendapatkan suara 10%, maka partai tersebut akan mendapatkan kursi parlemen sebanyak 10%.
Representatif karena Indonesia adalah negara multi etnik terdiri dari ratusan suku dengan beragam bahasa. Sistem ini memungkinkan para wakil suku bangsa bahkan minoritas terwakili melalui sistem pembuatan sebuah daftar kandidat yang diajukan oleh setiap partai. Daftar kandidat tersebut meliputi berbagai kepentingan pemilih atau masyarakat, sehingga memberikan ruang politik bagi partai untuk membuat daftar yang multi rasial dan multi etnik.
Keluarga sistem perwakilan proporsional terbagi dalam dua sistem pemilu. Sistem perwakilan proporsional dengan daftar (daftar terbuka dan daftar tertutup) dan sistem preferensial. Pemilu Indonesia menganut sistem proporsional daftar terbuka pada 2009, sebelumnya sistem proporsional daftar tertutup. Sri Lanka menganut sistem preferensial baik pada pemilu presiden Januari 2010 maupun pemilu parlemen April 2010.
Dalam memberikan contoh di Indonesia, saya masih mengacu pada UU no. 10/2008, karena ketika artikel ini ditulis, Revisi UU terbaru belum dicatat dalam Lembaran Negara meski telah disahkan tanggal 12 April 2012.
Daerah Pemilihan
Untuk mendapatkan wakil-wakil yang akan duduk di parlemen, sistem perwakilan proporsional membuat daerah pemilihan (dapil) berwakil banyak. Dapil berwakil banyak artinya dari dapil tersebut akan diperoleh sejumlah kandidat yang akan duduk di parlemen. Dapil berwakil tunggal berarti hanya akan ada satu wakil terpilih mewakili daerah pemilihan tersebut di parlemen.
Semakin banyak kandidat yang dipilih dalam suatu dapil, maka semakin proporsional sistem pemilu tersebut. Tahun 2009, Indonesia memiliki 77 daerah pemilihan. Masing-masing dapil berwakil banyak yaitu jumlah kandidat 3–10 untuk DPR (pasal 22 ayat 2), dan 3-12 untuk DPRD (pasal 25 ayat 2).
Konsekuensinya, dalam sistem perwakilan proporsional tidak mungkin bahkan jarang satu kursi didapatkan dalam satu kali penghitungan. Perolehan kursi dihitung berkali-kali. Dalam kasus Indonesia, pengkonversian suara menjadi kursi diatur dalam UU 10/2008 pertama-tama suara partai harus memenuhi parliamentary threshold atau ambang batas parlemen yaitu 2,5%. dalam Revisi UU yang baru disebutkan 3,5%. Pasal-pasal mengenai pengkonversian suara selanjutnya diatur dalam Bab XII mengenai Penetapan Hasil Pemilu dan Bab XIII mengenai Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih. Mengenai hal ini akan saya jelaskan dalam artikel tersendiri.
Keadilan bagi Partai Kecil
Sistem perwakilan proporsional menjamin proporsionalitas atau keadilan jumlah suara dengan kursi yang didapat. Karena sistem pemilu ini memfasilitasi partai kecil untuk masuk dan memiliki akses ke parlemen sehingga terwakili, meskipun persentase suara yang diperoleh kecil selama masih ada kursi. Kecuali kalau parliamentary thresholds terlalu tinggi atau dapil terlalu kecil.
Padahal ada partai besar yang mendominasi kepemimpinan di provinsi atau distrik tertentu. Dalam sistem pemilu yang lain, partai kecil tidak mungkin mendapat kursi apalagi memimpin situasi, jika satu partai memegang seluruh kursi di provinsi atau distrik tertentu. Hal ini penting, khususnya bagi minoritas dalam sebuah provinsi yang tidak memiliki kekuatan regional yang signifikan bahkan bisa menjadi kekuatan alternatif.
Mengurangi suara terbuang atau hangus.
Sistem perwakilan proporsional dapat memberikan pilihan kepada pemilih, apakah memilih partai politik, kandidat atau keduanya. Jika parliamentary thresholds atau batas ambang parlemen rendah, maka semua suara akan diperhitungkan dalam memilih kandidat sesuai pilihan para pemilih.
Hal ini meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu, bahwa kedatangan mereka ke TPS dan memberikan suara saat pemilu tidak sia-sia, dan suara mereka diperhitungkan. Masyarakat juga lebih percaya diri bahwa suara mereka akan membuat perbedaan, meskipun kecil.
Mendorong kontinuitas pemerintahan yang lebih besar dan stabilitas politik.
Dalam masyarakat yang beragam, sistem perwakilan proporsional melibatkan partisipasi masyarakat sehingga akan memberikan keuntungan dalam pengambilan keputusan di negara-negara demokrasi, kalau tidak akan menjadi masalah stabilitas yang krusial.
Pengalaman negara-negara Eropa Barat menunjukkan bahwa sistem perwakilan proporsional lebih baik dibanding sistem pemilu yang lain. Hal ini dapat dilihat dari lamanya usia pemerintahan, partisipasi pemilih dan prestasi di bidang ekonomi. Pembagian kekuasaan antara partai dan kelompok-kelompok kepentingan semakin jelas.
Wakil Perempuan
Sistem perwakilan proporsional memungkinkan kandidat perempuan terpilih lebih besar dibandingkan sistem pluralitas-mayoritarian. Dengan menggunakan daftar kandidat, partai dapat mempromosikan wanita politisi. Pemilih juga dapat memilih kandidat wanita, meskipun pilihannya juga lebih kepada pertimbangan politik daripada masalah gender.
Dalam dapil berwakil tunggal seperti yang terdapat dalam sistem pluralitas – mayoritarian, kebanyakan partai memilih kandidat ‘yang paling diterima secara luas’ dan jarang kandidat tersebut adalah wanita.
Di seluruh dunia, sistem perwakilan proporsional menunjukkan bahwa sistem pemilu ini lebih ramah kepada kandidat wanita daripada sistem FPTP. Karena lebih banyak kandidat wanita yang terpilih dalam sistem ini dibanding sistem pemilu FPTP.
Di tahun 2004, jumlah politisi wanita di parlemen yang terpilih karena sistem perwakilan proporsional 4,3 % lebih tinggi daripada rata-rata semua sistem pemilu parlemen yang hanya 15,2%. Politisi wanita yang terpilih dalam negara yang menggunakan sistem FPTP justru 4,1% lebih rendah dari rata-rata jumlah politisi wanita.
Diolah dari berbagai sumber, antara lain :
1. Buku Electoral System Design: The New International IDEA Handbook, 2008
2. UU no. 10/2008
Penulis adalah anggota Divisi Hubungan Luar Negeri Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia dan pemantau pemilu internasional di berbagai negara di Asia sejak 2009.