Bagaimana rasanya bagi wanita yang bekerja dengan lingkungan yang kebanyakan kaum pria? Kamis malam (18/4) mbak Teresita Lystiani Indah Sari yang bekerja di Exxon Mobil berbagi kisah perjuangannya bekerja di lingkungan perminyakan.
Sebenarnya, bekerja di mana sama saja. Tetapi ada challenge tersendiri bagi wanita yang bekerja di lingkungan kebanyakan laki-laki apalagi bekerja sebagai golongan minoritas dalam lingkungan kerja internasional seperti halnya mbak Sita.
Challenge sebagai wanita di lingkungan kerja dominan laki-laki membuat wanita harus melakukan pembuktian bahwa memang mereka mampu melakukan kerja tersebut.
Lebah dan Ratu Lebah |
Poin-poin penting lainnya yang dibahas mbak Sita adalah :
1. The most important thing is ability to add value.
Makin banyak wanita yang bekerja di luar rumah, tetapi wanita yang menjadi level manajer dan CEO hanya sedikit. Bisa jadi, karena perusahaan tidak memerlukan gender dalam level manajer. Kaum wanita yang mampu masuk ke level tersebutlah yang harus memberikan added value kepada perusahaan, sehingga perusahaan merasa perlu menarik mereka untuk menjadi manager di perusahaan tersebut.
2. Do not spend too much time over-analyzing discrimination
Jangan kebanyakan mikir, aduh, saya cuma perempuan, aduh nanti begini, nanti begitu. Just do it.
3. Do not silent: CONTRIBUTE
Di manapun, kita harus menunjukkan ke khalayak ramai termasuk dalam perusahaan, bahwa kita ada dengan memberikan kontribusi, misalnya bersuara dan memberikan pendapat dalam rapat perusahaan.
4. Optimize successful women - network in your company
Setelah menjadi wanita sukses katakanlah level manajer atau pimpinan, wanita seharusnya membuat jaringan dengan membuat network atau jaringan dengan wanita lain sehingga makin banyak wanita yang menjadi manajer atau pimpinan di perusahaan tersebut.
Namun, ada sejumlah fakta bahwa kaum wanita yang bekerja dalam lingkungan laki-laki dan berhasil masuk ke dalam level manajer, kemudian berkesan seperti menghalangi wanita lain untuk masuk ke dalam lingkup manajer tersebut. Sehingga muncul istilah Queen Bee atau Ratu Lebah yang merasa terusik dengan keberadaan wanita lain dalam lingkungannya.
Kebanyakan alasan yang muncul adalah karena wanita tersebut ingin menjadi the only dan wanita tidak mensupport sesama wanita. Tetapi teori ini dipatahkan, karena para pria pun sebenarnya berkompetisi dan tidak mendukung satu sama lain dna ada kemungkinan menjatuhkan (belum tentu berarti negatif). Tetapi bedanya, kaum pria menganggap hal tersebut sebagai kompetisi dan bagian dari kerja, sedangkan kaum wanita membawanya ke ranah pribadi, sehingga enggan berkompetisi dan melukai satu sama lain.
5. Embrace your career choice and priorities that possible as women
Wanita bekerja harus membuat prioritas, apakah karir atau keluarga atau hal lain. Dan itu sah-sah saja.
Noodle Pizza, salah satu menu di D'Marco Cafe yang menjadi pilihan saya di malam itu |
Diskusi kecil yang diselenggarakan oleh Rotary Jakarta Batavia ini berlangsung menarik di D'Marco Cafe yang terletak di Jl. Sabang sebelah Hoka-hoka Bento.
Buat saya, tema ini menarik karena sayapun bekerja di lingkungan yang didominasi oleh laki-laki yaitu bidang kepemiluan. Di awal-awal bergabung dengan KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu), saya sudah melihat adanya genderisasi, bahwa perempuan pemantau memilih pekerjaan administrasi atau bagian konsumsi dan menolak diberi tanggung jawab lebih sebagai kordinator, misalnya. Sehingga saya menjadi satu-satunya perempuan yang memegang pimpinan bahkan pengambil keputusan di KIPP Jakarta Barat dari Oktober 1998 - tahun 2000. Saya menarik sejumlah perempuan untuk menduduki sejumlah posisi penting, tetapi kebanyakan memilih sebagai wakil kordinator saja.
Ada beberapa keuntungan menjadi perempuan di bidang pemantauan pemilu. Beberapa kali memantau pemilu di luar negeri karena tim pemantauan harus gender balance. Pemantau laki-laki diusahakan seimbang jumlahnya dengan pemantau perempuan. Negara lain termasuk Indonesia lebih sering mengirim pemantau yang laki-laki, sehingga saya sebagai perempuan selalu lolos seleksi.
Sisi buruknya, ada kesan meremehkan, saya lolos karena semata-mata perempuan. Buat saya ini tantangan, saya belajar keras mengenai pemilu baik dari buku, diskusi, training dan sebagainya untuk membuktikan bahwa saya memang paham pemilu dan pantas di posisi yang sekarang ini, bukan karena gender threshold dan bukan karena blessing in disguise.
Fenomena Queen Bee merupakan satu hal menarik buat saya. Karena orang kemudian melihat saya sebagai Queen Bee yang menolak dan mempersulit perempuan bahkan pemantau laki-laki untuk menjadi pemantau internasional. Padahal saya melakukan seleksi untuk teman-teman KIPP yang berminat untuk menjadi pemantau internasional semata-mata mempersiapkan mereka berdasarkan pengalaman saya selama ini dan apa yang dituntut dalam tugas pemantauan.
Saya meminta teman-teman untuk memiliki TOEFL minimal 400, karena lingua franca yang digunakan dalam misi pemantauan adalah bahasa Inggris, mulai dari reading materials sebelum berangkat, briefing, pemantauan termasuk meng-interview sejumlah stakeholders kepemiluan, penulisan report dan terakhir debriefing.
Saya meminta teman-teman untuk semakin banyak mempelajari pemilu Indonesia dan teknik-teknik pemantauan pemilu bahkan turun lapangan memantau pemilu dan pemilukada di berbagai daerah di Indonesia. Pemantau internasional dianggap sebagai orang yang berpengalaman dalam kepemiluan, paling tidak di negaranya sendiri, bukan orang yang baru dalam bidang pemantauan pemilu, apalagi sekedar jalan-jalan di luar negeri.
Jika kemudian saya dituduh sebagai Queen Bee dan menghalang-halangi orang, yah sekarang saya pasrah saja, kalau dulu agak down juga. Saya memang keras dalam menetapkan standar orang yang akan dipilih mewakili organisasi memantau pemilu di luar negeri. Tetapi saya juga sekaligus menyelenggarakan training bahasa Inggris kepemiluan dan juga latihan-latihan role play pemantauan lapangan untuk memenuhi standar tersebut.
Training yang saya rancang tersebut ternyata persis sama dengan training di Austria musim gugur 2012, di mana saya mendapatkan beasiswa dari pemerintah Austria.