Islam sejak empat belas abad silam mencanangkan gerakan fenomenal yang bertujuan mengentaskan kemiskinan. Konsep ini dituangkan dalam pilar ketiga dari rukun Islam, yaitu zakat. Allah SWT berfirman: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103).
Dan, ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau memberikan beberapa wejangan, termasuk di antaranya zakat yang wajib ditunaikan jika penduduk di sana telah masuk Islam.
Menurut sejarah, kewajiban zakat ini dimulai tahun kedua hijriyah. Secara bahasa, zakat memiliki arti bertambah, berkembang, berkah dan suci. Dengan berzakat, diharapkan harta muzakki (orang yang berzakat) akan bertambah, berkembang, berkah dan suci.
Sedangkan menurut istilah fikih, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan kepada para mustahiq (orang yang berhak menerima zakat, meliputi: fakir, miskin, badan amil zakat, mualaf, hamba sahaya, orang yang berhutang, fi sabilillah, dan ibnu sabil).
Dalam literatur fikih klasik, setidaknya ada lima jenis harta yang wajib untuk dizakati: binatang ternak, emas dan perak (barang berharga termasuk uang), barang dagangan, harta galian dan hasil pertanian. Belakangan, cakupan harta wajib zakat ini mengalami perluasan makna seiring perkembangan dan kompleksitas kegiatan perekonomian.
Maka muncullah istilah zakat profesi, zakat saham dan obligasi, zakat investasi, zakat sarang burung walet dan seterusnya seperti yang bisa kita jumpai dalam literatur-literatur fiqih kontemporer. Pada prinsipnya, berzakat merupakan strategi berbagi dan peduli yang diajarkan Rasulullah SAW untuk mewujudkan kehidupan sosial yang lebih adil dan merata.
Strategi ini terus dilanjutkan oleh Abu Bakar as-Shiddiq setelah Rasulullah wafat. Abu Bakar bahkan menabuh genderang perang terhadap mereka yang menolak bayar zakat. Kegemilangan peradaban zakat pun mulai dirasakan, khususnya pada masa pemerintahan Umar bin Khattab yang menginisiasi kehadiran baitul mal sebagai lembaga yang mengurusi keuangan umat Islam saat itu.
Bahkan, ketika pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, optimalisasi pengelolaan zakat, infaq dan sedekah betul-betul telah mampu mewujudkan masyarakat tanpa orang miskin. Sebuah kegemilangan yang barangkali telah mengilhami Negara Barat dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Terbukti, pada tahun 1536 M, parlemen Inggris mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan setiap pegawai pemerintah untuk menyisihkan sebagian pendapatannya demi membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Meski undang-undang ini tidak berjalan sesuai harapan, tetapi ia menjadi embrio kelahiran undang-undang fakir miskin Inggris pada 1601 M. Langkah ini kemudian diikuti oleh New Zealand, Denmark, dan Amerika Serikat. (Yusuf Kamal, 1986). Ada satu paradigma yang ingin diwujudkan dalam praktik zakat, yaitu merubah penerima zakat menjadi muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) di kemudian hari.