Minggu, 08 Februari 2015

Bahasa yang paling sesuai logika manusia???

aya mendapat broadcast ini di grup WA pengajian beberapa hari yang lalu dan merasa tergelitik untuk memberikan komentar sesuai dengan pengetahuan saya sebagai sarjana bahasa Jerman. Ditambah lagi, saya paling sebel dengan orang yang hakul yakin mengatakan, "hanya satu-satunya....., yang paling".... Menurut saya, berat sekali untuk mengatakan sesuatu dalam bentuk superlatif, karena artinya sudah melakukan penelitian di bidang dan kategori yang sama.
Ini tulisan aslinya: Bahasa Arab adalah bahasa yang PALING sesuai dengan logika manusia. Misalnya kalimat “ana masrurun bimuqobalatik” (saya disenangkan [senang] karena bertemu denganmu). Maka, bahasa Arab menggunakan “masrurun”, dalam bentuk maf’ul (objek penderita) , bukan “saarrun” (fa’il/pelaku). Karena ada sesuatu yang membuatnya senang yaitu bertemu, tidak mungkin ia senang sendiri jika tidak ada yang membuatnya senang. Bandingkan dengan bahasa Indonesia, “saya merasa senang” dan bandingkan pula dengan kalimat “ana qoodimun” (saya datang) menggunakan bentuk fa’il (pelaku) karena memang ia melakukannya. Ustad Aris Munandar, SS, MA
Pertama, saya harus menulis ulang paragraf tersebut agar saya sendiri paham. Kalimat-kalimat dalam paragraf ini banyak yang tidak efektif dan muter-muter dalam menjelaskan. Ini versi saya:
Bahasa Arab adalah bahasa yang PALING sesuai dengan logika manusia. Misalnya kalimat “ana masrurun bimuqobalatik” (saya disenangkan [senang] karena bertemu denganmu). Kata “masrurun” (gembira) dalam bahasa Arab digunakan dalam bentuk maf’ul (objek penderita) , bukan “saarrun” (fa’il/pelaku). “Bertemu” adalah sesuatu yang membuatnya senang, tidak mungkin seseorang merasa senang sendiri (secara otomatis), jika tidak ada yang membuatnya senang. Bandingkan dengan bahasa Indonesia, “saya merasa senang” dan bandingkan pula dengan kalimat “ana qoodimun” (saya datang) menggunakan bentuk fa’il (pelaku) karena ia pelakunya.
Kedua, tadinya saya mau membandingkan kalimat “ana masrurun bimuqobalatik” dengan kalimat bahasa Inggris, “I am glad to see you” (saya senang bertemu kamu), tetapi karena dikatakan menggunakan obyek penderita dan bukan pelaku, maka perbandingan dengan bentuk Dativ bahasa Jerman lebih tepat untuk mengkomparasikannya.
Untuk makna yang sama, bahasa Jerman memiliki kata “gefallen” yang artinya “menimbulkan suka bagi/kepada”. Misalnya “saya suka buku itu” adalah “Das Buch gefällt mir” atau “Buku itu menimbulkan rasa suka kepada saya”. Buat saya dan sebagian besar orang Indonesia, kalimat ini tidak praktis, jadi lebih suka diterjemahkan menjadi “saya suka buku itu”. Meskipun bahasa Jerman juga punya kalimat lain untuk hal ini. Atau dengan kata lain, jika kita ingin mengatakan “saya suka buku ini”, kita bisa menggunakan kalimat “Ich mag das Buch” atau “Das Buch gefällt mir”. Kata ‘saya’ dalam kalimat yang pertama menggunakan kata ‘ich’ sebagai subyek atau dalam linguistik versi bahasa Arab disebut “fa’il”. Sedangkan kata ‘saya’ dalam kalimat yang kedua menggunakan kata ‘mir’ yang merupakan obyek penderita” atau dalam linguistik bahasa Arab disebut “maf’ul”.
Ketiga, penulis,Ustad Aris Munandar, SS, MA, meminta pembaca membandingkan antara kalimat “saya merasa senang” dengan kalimat “ana qoodimun” (saya datang) dalam bahasa Indonesia.
Menurut saya, kedua kalimat tersebut tidak bisa dikomparasikan karena memang berbeda. Kalimat “saya merasa senang” adalah kalimat yang menggunakan adjektif atau kata sifat, sedangkan kalimat “saya datang” adalah kalimat dengan menggunakan kata kerja intrasitif, kata kerja yang tidak butuh obyek. Tapi, kalau ingin menunjukkan bahwa kedua kalimat dalam bahasa Indonesia ini memiliki kata ‘saya’ sebagai subyek atau pelaku atau fa’il, bisa. Yang harus dikemukakan oleh penulis adalah bahwa para pembaca atau pembelajar bahasa Arab harus memperhatikan bahwa kata kerja dapat mengubah bentuk subyek. Dan ini ternyata bukanlah dominasi bahasa Arab saja, tetapi juga ada di dalam bahasa lain di dunia, misalnya bahasa Jerman. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar