Ada yang menarik dari gerakan Save KPK yaitu membuat semacam meme berupa foto diri dan sebelahnya tertulis "Saya perempuan anti korupsi". Bagus dan perlu, tapi saya tidak mau ikut dalam kampanye tersebut. Dari dulu saya tidak berani bilang, "Saya anti korupsi." Baik sebagai person ataupun sebagai gender perempuan.
Kenapa? Bikin KTP, saya kasih duit ke orang kelurahan, lapor polisi karena kehilangan dompet, saya kasih duit. Ditilang, saya kasih duit supaya SIM saya gak ditahan. Belum lagi mengurus surat keterangan lainnya di institusi pemerintah. Berarti saya kan juga pelaku. Dan ini dilakukan berjamaah, artinya hampir sebagian besar orang Indonesia, minimal di Jakarta melakukan hal yang sama.
Ada sejumlah orang yang saya kenal baik dituduh dan terbukti melakukan korupsi berdasarkan UU dan dipenjara. Ada yang memang sengaja mencari CELAH hukum untuk memperkaya diri dan kelompoknya, ada yang dicari-cari CELAnya agar dijadikan koruptor.
Saya belum tahu banyak dengan kasus Mandra, meski seorang teman yang dari fakultas hukum menjelaskan kepada saya adanya pasal karet dalam UU korupsi. Saya tidak tahu dan tidak mau mengambil kesimpulan apakah Mandra bersalah atau tidak, karena itu bukan bidang saya. Tapi moral story-nya adalah kita harus banyak baca dan sejumlah UU di Indonesia terkait bidang yang kita geluti, karena banyak pasal yang belum jelas atau multi tafsir.
Yang jelas, ini adalah efek dari memilih anggota DPR dan DPRD yang tidak jelas asal usul dan kapasitas pribadinya. Banyak pemilih, memilih caleg asal-asalan, asal populer, asal dibagi duit, asal dari keluarga yang bapaknya dulunya pejabat dsb, tapi bukan kapasitasnya khususnya dalam memahami problema masyarakat dan menyusun UU untuk mengatasinya.
Anggota parlemen, apakah nasional atau provinsi, dipanggil juga sebagai "lawmaker" dalam bahasa Inggris. Karena mereka adalah pembuat undang-undang. Jadi, salah satu kompetensi mereka dalam rekutmen sebagai caleg oleh partai politik seharusnya adalah kemampuan mereka merumuskan masalah dan solusinya dalam rancangan undang-undang dan memperjuangkannya hingga menjadi undang-undang.
Yang kita lihat sekarang adalah lebih dari separuh anggota parlemen nasional Indonesia (DPR RI) periode 2014 - 2019 adalah pengusaha. Lalu bagaimana dengan produk yang akan dihasilkannya yaitu undang-undang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar