Pemandangan sekitar bandara Kabul cukup mencengangkan. Begitu berbeda dan kontras dengan bandara-bandara di negara-negara tanpa konflik seperti Indonesia. Apalagi Dubai, di mana pesawat kami berangkat.
Bandara Kabul begitu gersang dan kering. Sejauh mata memandang, hanyalah padang pasir kecoklatan. Pesawat-pesawat perang berloreng hijau coklat, F16 dan helikopter yang biasanya saya lihat pada hari ulang tahun TNI di Indonesia atau pameran Indonesia Air Show tahun 1996, sekarang ada di depan mata dan dalam keadaan siaga perang.
Begitu pesawat mendarat, penumpang tidak serta merta bisa langsung turun.Bukan karena sebagai penumpang kelas ekonomi harus menunggu penumpang bisnis turun dulu, ini lebih karena pesawat kami belum mendapat tempat parkir. Bandara Kabul merupakan bandara kecil tetapi sibuk, jadi pesawat kami harus menunggu untuk mendapatkan tempat parkir.
Hawa panas dan kering langsung menerpa wajah kami begitu pintu pesawat dibuka. Tak ada garbarata sejuk menyambut penumpang. Penumpang harus turun dari tangga dan berjalan ke ruang kedatangan bandara melalui jalanan berkerikil. Terik matahari tidak ampun lagi memanggang kami.
Petugas imigrasi ganteng-ganteng tapi senyumnya tetap dingin, ketika saya menyapa mereka "Assalamu 'alaikum". He he he, kan negara Islam, jadi mesti menyapa seperti itu. Dia bertanya apakah saya punya visa untuk masuk Afghanistan. Ya iyalah om. Masak ke negara orang gak pake visa. Memangnya orang Afghanistan, yang masuk ke Indonesia atau negara lain, boro-boro pake visa, paspor dan identitas diri lainnya aja gak punya.
Setelah itu, kami menuju sebuah loket untuk membuat kartu identitas orang asing. Sebelumnya oleh panitia, kami harus membawa foto. Karena tidak ada penjelasan atau sayanya yang gak perhatikan, saya bawa semua ukuran foto 2x3, 3x4 dan 4x6. Lengkap. Buat jaga-jaga. kalau perlu yang ukuran 10R juga mungkin akan saya sediakan, he he he.
Lucu juga sih, karena kita harus membuat kartu identitas, karena kebanyakan orang Afghanistan tidak punya kartu identitas. Maklum deh negara perang. Gak kepikiran kartu identitas, yang penting nyawa selamat.
Tempat pengambilan bagasi satu ruangan dengan loket pembuatan kartu identitas tersebut. Banyak orang yang berada di sana adalah calo dan supir taksi. Kami sudah diwanti-wanti oleh panitia untuk tidak berurusan dengan mereka. Ya juga sih, apa sih susahnya ngambil koper di ban berjalan. Bawa kopernya juga kecil kok. He he he, ternyata yang bawa kopernya paling kecil cuma saya saja. Beratnya juga cuma 9 kg. Teman-teman lain membawa 2 koper, besar-besar pula. Ini mau observasi pemilu atau mau piknik sih?
Kami juga diminta untuk berhati-hati dengan orang yang mengaku penjemput kami. Kami diminta untuk mengecek identitas mereka. Penculikan merupakan hal yang tidak aneh di Afghanistan atau di negara-negara konflik di Timur Tengah dan Asia Tengah seperti Afghanistan dan Pakistan. Motifnya tidak selalu politik. Saat ini kecenderungannya adalah ekonomi. Siapa saja bisa diculik asalakan mendapat tebusan.
Sambil menunggu penjemput kami, kami bermaksud berpotret ria di bandara. Tetapi seorang petugas melihat kami dan berteriak agar tidak boleh berpotret di dalam bandara. Kami pun bubar, kecewa tapi maklum. Ong, seorang observer dari Malaysia berkata pelan, "Everything in Afghanistan is a struggle". Kami tersenyum kecut membenarkan. Ini Afghanistan, bung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar