Minggu, 27 Mei 2012

Orang Jawa memang sudah ditakdirkan memerintah Indonesia

Kalau peta perpolitikan Indonesia dikuasai oleh orang Jawa, ya wajar-wajar saja. Penduduk Jawa-Madura jumlahnya 50% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan pembagian daerah pemilihan dalam pemilu dibentuk berdasarkan jumlah penduduk.

Kita bisa lihat hal tersebut dalam Lampiran UU no.8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang baru diterbitkan bulan Mei 2012 lalu. Dalam pemilu 2014 nanti, Sumatera akan diwakili oleh 120 orang anggota DPR, Jawa 306, Bali, NTB dan NTT, 32, Kalimantan 35, Sulawesi 47, Maluku dan Papua 20.
Hal ini sudah berlangsung sejak lama, karena populasi di pulau Jawa dan Madura memang padat sejak dulu kala. Sehingga muncul kebijakan bahwa setiap provinsi di Indonesia, meskipun populasinya kecil dan tidak mencukupi bilangan pembagi untuk daerah pemilihan akan diwakili 3 orang. Karena sistem pemilu Indonesia adalah sistem keterwakilan proporsional. Bisa dilihat dalam pasal 22 ayat (2) UU no. 8/2012.
Solusinya buat daerah: Perbanyaklah jumlah penduduk di daerah Anda masing-masing (jika yang membaca artikel ini adalah orang di provinsi non pulau Jawa-Madura, ya).
1. Dengan memperbanyak jumlah kelahiran (ooopss, jumlah penduduk Indonesia akan ‘meledak’ dong) dan mengurangi jumlah kematian ibu dan bayi.
2. Dengan memindahkan sebagian orang yang berada di pulau Jawa ke daerah atau provinsi non pulau Jawa.
Panggil putra daerah yang sudah sekolah dan punya pengalaman bekerja di pulau Jawa atau bahkan luar negeri untuk membangun daerah.
Undang orang-orang non putra daerah yang selama ini tinggal di pulau Jawa. Mengundang orang tentu mesti ada ‘jamuannya’ kan. Galilah potensi wilayah provinsi masing-masing. Itulah ‘perjamuan’ dan ‘jualan’ daerah Anda.
Indonesia tidak cuma Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogja, Medan, Makasar. Apa yang sudah dilakukan mantan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad bagus sekali. Beliau men-SWOT daerah Gorontalo dan menemukan kekuatan Gorontalo adalah jagung. Karena itu kebijakan beliau adalah membangu industri jagung dari hulu ke hilir. Selepas beliau menjadi gubernur, saya belum sempat mengecek kelangsungan industri jagung ini.
Jerman sebagai negara maju, juga tidak menumpukan kekuatan ekonominya pada kota-kota yang selama ini dikenal di Indonesia. Berlin jelas sebagai ibukota negara memiliki daya tarik sendiri menarik urbanisasi. Tapi kota lain juga punya daya tarik dan magnet tersendiri.
Frankfurt adalah kota industri keuangan. Semua lembaga keuangan ternama di dunia dipastikan memiliki kantor perwakilan utama di kota ini.  Siapa yang menyangka bahwa Hamburg selain terkenal sebagai salah satu kota pelabuhan terbesar di dunia, juga dikenal sebagai ‚Sillicon of Valley‘-nya Jerman. Karena itulah pak Habibie, mantan presiden Indonesia bertempat tinggal di Hamburg, karena dekat dengan komunitasnya sebagai ilmuwan peneliti teknologi.
Siapa yang tidak kenal dengan Siemens? Pabrik-pabrik Siemens berada di kota kecil yang tidak terdengar oleh publik Indonesia. Dengan juga dengan pabrik-pabrik mobil semacam Opel dan BMW. Braunschweig adalah kota industri penerbangan. Urbanisasi tetap ada di Jerman, tetapi bisa ditekan. Toh, bekerja di kota kecil sama saja. Tentu saja dibarengi dengan fasilitas yang cukup sehingga gak beda-beda jauh dengan fasilitas di kota.
Saya di salah satu jalan desa di provinsi Phatthalung, Thailand Selatan, sehabis mewawancara seorang kandidat di wilayah ini.


Thailand memiliki infra struktur yang cukup bagus. Ketika tahun 2011 saya memantau pemilu parlemen di sana, saya menyusuri kota-kota dan desa-desa di 4 provinsi di Thailand Selatan (Trang, Songkhla, Pattalung dan Satun) untuk mewawancarai berbagai stakeholder kepemiluan dan menghadiri kampanye. Jalanan mulus dan lebar yang bisa dilalui mobil membentang masuk ke desa-desa, memudahkan rakyat menjual hasil panen perkebunan mereka. Hiburan sekali-sekali ke kota dan menjadi tidak jauh. Listrik, komputer, laptop dan internet bukan barang aneh bagi penduduk di sana.   
3. Ini usulan yang paling ekstrim. Kawinilah orang pulau Jawa, lalu bawa dia ke daerah Anda. Jangan sebaliknya ya, Anda justru pindah ke pulau Jawa, menuh-menuhin pulau Jawa yang sudah sesak, he he he.  

Penulis adalah : Kepala Departemen Hubungan Luar Negeri KIPP Indonesia (Komite Independen Pemantau Pemilu. Pemantau pemilu Internasional di beberapa negara di Asia.
Tulisan ini dimuat juga di Kompasiana.

Minggu, 20 Mei 2012

Voter registration list

Before entering polling sites, the Thai voters show the ID card to the polling site officers. The officers will check it, and take a note in the voter registration list. Here people can use their current ID card or expired or other document that issued by the Thai Government with picture and the ID number.


Voter registration list displayed in the front of head of village's house in Satun Province, South Thailand, June 2011 


Thailand does not have big problem with voter registration list because the population data is well organized and computerized thank to the system of 13 digit numbers on ID card. This number is used for identification in all documents. Some people may change their name, due to some reasons. And it is allowed by the custom and the law. However they can not change the 13 digit numbers.

The voter registration list both for advance voting and general election is displayed in the front of government building offices from province until pooyaiban (head of village) office or house a couple days before election day. People can check their names and the location of polling sites easily. And if there is a complaint such as the name is not on the list, they can go to the next sub district office to register themselves.

In Indonesia, voter registration list both temporary (DPS) and permanently (DPT) is a big problem and one of the election fraud. The accuracy of voter registration list is doubtful. KIPP Indonesia finds the number of voter is marked up improperly almost in every part in Indonesia. Many voters complained that their names were not on the list. On the other hand and it’s not secret that some names belong to the dead persons, children, teenagers, non residence, even fictitious names were on the list!

The main aim of voter registration list is actually for logistic needs such as to provide enough ballot papers. With the mark up of voter registration list, some allegedly frauds occur: the misuse of the ballot paper rest and increasing of election cost.

According to the rule, the rest of ballot papers should be put in special envelope. But if the rest of ballot paper because of the fictitious voters, which party will take the advantage? The cost of election will be increased, because for every name on the list, the Indonesian government will provide Rp 200.000,- (= USD 25) for the logistic need. How much money will be corrupted and to where does the money go?    

In legislative election 2009 and also in the other previous election, many people in Indonesia had problems to cast a vote, because their names were not on the current registration list both temporary and permanent. The effect was that they were not sent the invitation to vote. It was weird, because their names were on the list in the last election. The KPPS denied them, because they could not show the invitation before entering the polling sites. The denial was correct according to the regulation, however, millions of voters lose their political rights because of the invalid voter registration list. And after long and sharp discussions, finally KPU issued a policy that any voters in that area could cast a vote just to show their ID card, even though without the invitation.

Although the voter registration list in Thailand is already well organized, the problem still occurred, like some voters complained that their names are still on the registration list. They wanted to remove their names from advance voting registration list. They want to change, but they don’t know how to do that. ECT has already given the explanation through many brochures, for people who want to change their registration. However, many people especially in the village don’t want to read the explanation.
Note :
  1. The author is International Election Observer in some countries in Asia, incl. Thailand Parliamentary Election, 3rd July 2011. In Indonesia, she is the Head of Foreign Affairs Department, member of KIPP Indonesia since 1998.
  2. This article is published in The Global Review, too.

Sabtu, 19 Mei 2012

Advance Voting

Many people have something to do and can’t come on election’s day. For example, the police and army have to work on election’s day as security officers. Teachers and some local people should serve as polling officers. Some businessmen have appointments somewhere out of the province and university students study out of the hometown. Thailand gives a chance for its people to vote in advance. The policy to handling the cases as mentioned above namely advance voting. The advance voting was held on 26th June 2011.

Advance Voting in the front of Pattalung Government office, close to the closing time. The brown car is a transportation for ballot papers and other election results from the district office into the Election Commission of Province, that locates here.

There are 2 kinds of voters who are eligible to vote in Advance Voting. First, people who come from outside of the province, but work in the province. They can vote in the current locations. They are called as non residence voters. Second, people who live and work in the province, but they should leave the province at that day, because of their own schedule. They are called residence voters.
Both of them should register in the sub district office or office districts on 13th-17th June. After the registration, they can check their name and get the invitation that mentions the date and location of the polling sites. The polling sites for non residence usually are only 1 or 2 in each province. But the polling sites for inside residence are available in each district. 
The number of voters in Advance Voting is not big, but the ECT still prepared in good manner. The preparation and the implementation were almost the same like the election’s day. Only the number of voters was small.
However, in some locations occurred some problems. Many people stuck in the queue because many voters came in the same time in the morning. The invitation did not mention the exact time, when they should or could come to the polling sites. The southern provinces people are mostly farmers and fishers. They want to vote as soon as possible and then they continue our business again, like collecting rubber or opening the shops, etc. Some voters confused with the location between non residence PS and residence PS. The other voters complained that actually they wanted to vote in general election on 3rd July, not in advance election and in their own region. Because many of them were registered in advance voting in the last referendum.
Indonesia does not have advance voting.


Note :
  1. The author is International Election Observer in some countries in Asia, incl. Thailand Parliamentary Election, July 2011. In Indonesia, she is the Head of Foreign Affairs Department, member of KIPP Indonesia since 1998.
  2. This article is published in The Global Review, too.

Jumat, 18 Mei 2012

Lessons learnt from Thailand’s election - Introduction

Thailand parliamentary election was held on 3rd July 2011 and was won by Phue Thai Party. The situation on E-Day and post election in Thailand was relative quite and calm. It was good, because it was not like people predicted before. Except in some provinces like 3 Deep South provinces namely Yala, Narathiwat and Pattani.


Posing after the press conference, Bangkok 5th July, 2011
I was wearing the red shirt.


As a NGO that works on election monitoring in Indonesia,  KIPP Indonesia, short of Komite Independen Pemantau Pemilu or Independent Committee for Election Monitoring, also took a part in that observation mission both as LTO and STO.  LTO or Long Term Observer worked for 40 days and STO or Short Term Observer worked for 12 days.
The mission was organized by ANFREL (Asia Network for Free Election). ANFREL deployed 48 international observers and some election experts from countries across Asia.
There are many interesting issues for comparison the election in Thailand and Indonesia. This article doesn’t always reflect the situation in Thailand nationwide, because the limited time and places I observed. I served as LTO and deployed in 4 provinces of southern Thailand, namely Songkhla, Phatthalung, Satun dan Trang.

Note :
The author is International Election Observer in some countries in Asia, incl. Thailand Parliamentary Election, July 2011. In Indonesia, I am Head of Foreign Affairs Department, member of KIPP Indonesia since 1998.  
This article was also published in The Global Review.

Minggu, 13 Mei 2012

Pelaporan hasil pemilu

Thailand menggunakan cara manual dalam pelaporan hasil pemilu, tetapi hasilnya cepat dan efektif. Setelah penghitungan di TPS selesai, anggota PPS melaporkan hasil via Handy Talkie ke kantor ECT distrik, setelah itu BAP dikumpulkan dan dikirim berbarengan dengan kotak suara dan peralatan pemilu lainnya. Kantor ECT distrik melaporkan hasil TPS-TPS ke kantor ECT konstituensi. ECT konstituensi melaporkan ke ECT Provinsi.


Hasil penghitungan suara Advance Voting, 26 Juni 2011, di ECT Pattalung.

Pelaporan dengan handy talkie adalah cara informal, tetapi mereka juga menggunakan cara formal dan resmi yaitu hasil tertulis dalam BAP. Handy talkie digunakan dengan cermat, terutama untuk TPS yang berada  di pulau-pulau.

Dalam penjumlahan hasil pemilu, mereka menggunakan program Excel. Hasil yang didapat lengkap dan cepat sekali, mulai dari jumlah pemilih (wanita dan pria), turn out, suara valid dan invalid hingga pemilih vote NO dan persentase masing-masing kategori.

Saya mendapatkan hasil dari ECT provinsi Songkhla pada petang hari sehari setelah pemilu yaitu tanggal 4 Juli. ECT provinsi Trang menyelesaikan penghitungan tengah malam yaitu pagi tanggal 5 Juli. ECT Nasional melaporkan hasil final 2-3 hari setelah pemilu.

Ini sungguh hasil yang luar biasa dibandingkan dengan Indonesia di tahun 2004 dan 2009. Di kedua periode tersebut, Indonesia menggunakan server dengan biaya mahal tetapi perlu waktu lebih dari satu bulan untuk mendapatkan hasil final pemilu. Ricuh pula.


Catatan :
1. Penulis adalah Pemantau Pemilu Internasional dalam Pemilu Parlemen Thailand, 3 Juni 2011.
2. Tulisan ini juga dimuat di The Global Review.
3. Jika ingin bekerja di rumah, silahkan klik di sini.

Vote NO

Golput ternyata ada juga di Thailand dan difasilitasi oleh UU Pemilu. Yaitu dengan menyediakan satu kolom dalam surat suara yang dikenal dengan istilah “Vote NO”. Kolom tersebut ada di bagian kanan bawah. Rakyat diberi kesempatan untuk tidak memilih satupun partai dan kandidat yang ada.


Kandidat Phue Fa Din di kantor kampanye mereka. 



Kampanye Vote NO diusung oleh partai Phue Pha Din, partai nomor 18. Mereka mempromosikan Vote NO, karena mereka kecewa dengan kepemimpinan Abhisit terutama dalam penyelesaian sengketa perbatasan Kamboja-Thailand. Untuk memenuhi tujuan tersebut, mereka menggunakan opsi “Vote NO” di dalam surat suara. Dalam kampanye, mereka meyakinkan pengikutnya bahwa semua politisi korup dan tak seorang kandidatpun pantas dipilih. Rekomendasi mereka adalah menunjuk  sebuah pemerintahan caretaker untuk memerintah selama beberapa tahun sementara sistem dibersihkan dari sifat rakus dan korupsi para politisi.

Hal ini merupakan sesuatu yang bertolak belakang. Di satu sisi, partai seharusnya mengajak pengikutnya untuk memilih partai tersebut, di sisi yang lain, partai ini justru mengajak pengikutnya untuk tidak memilih. Dua kandidat partai ini yang saya temui menjelaskan, bahwa mereka tidak bisa mengkampanyekan Vote NO, jika mereka tidak bergabung dalam partai. 

Penghitungan terakhir, jumlah pemilih Vote NO ternyata cukup banyak meski secara persentase jumlah mereka cukup kecil dibanding turn out pemilih. Artinya, masih banyak orang Thailand yang percaya dengan pemilu.

Golput di masa Soeharto merupakan kelompok yang dilarang, bahkan penganjurnya dikenakan tuduhan makar. Partisipasi dalam pemilu merupakan suatu hal yang wajib dan pemerintah RI hanya memberikan pilihan 2 partai dan satu golongan. Baru sejak 1999, partisipasi dalam pemilu menjadi hak warga negara, bukan lagi kewajiban. Golput di Indonesia saat ini bercampur antara kelompok yang menolak pemilu, kelompok yang acuh dengan pemilu atau kelompok yang bingung memilih.

Catatan :
1. Penulis adalah Pemantau Pemilu Internasional dalam Pemilu Parlemen Thailand, 3 Juni 2011.
2. Tulisan ini juga dimuat di The Global Review.
3. Jika ingin bekerja di rumah, silahkan klik di sini.