Jumat, 27 Februari 2015

Masjid di Bali

Bali dikenal sebagai provinsi dengan mayoritas Hindu, tetapi ada sejumlah masyarakat Islam di sana sini. Bagi para pengunjung, baik sebagai wisatawan, bisnis, atau kunjungan ke kerabat kadang kesulitan menemukan mesjid. 

Foto milik: Bang Siraj Bustami, sudah dimintakan izin 

Kebetulan ada seorang teman yang ke Bali dan sholat Jum'at di mesjid tersebut. Lokasinya ada di Kuta, wilayah yang cukup ramai dikunjungi oleh turis. Nama masjidnya Masjid Al-Mujahidin, yang terletak di Jl. Raya Kuta Gg. Rai Yasa, Kuta Bali, tel. (0361) 757831.  

Zakat untuk Membangun Peradaban

Islam sejak empat belas abad silam mencanangkan gerakan fenomenal yang bertujuan mengentaskan kemiskinan. Konsep ini dituangkan dalam pilar ketiga dari rukun Islam, yaitu zakat. Allah SWT berfirman: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103).
Dan, ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau memberikan beberapa wejangan, termasuk di antaranya zakat yang wajib ditunaikan jika penduduk di sana telah masuk Islam.
Menurut sejarah, kewajiban zakat ini dimulai tahun kedua hijriyah. Secara bahasa, zakat memiliki arti bertambah, berkembang, berkah dan suci. Dengan berzakat, diharapkan harta muzakki (orang yang berzakat) akan bertambah, berkembang, berkah dan suci.
Sedangkan menurut istilah fikih, zakat adalah sejumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan kepada para mustahiq (orang yang berhak menerima zakat, meliputi: fakir, miskin, badan amil zakat, mualaf, hamba sahaya, orang yang berhutang, fi sabilillah, dan ibnu sabil).
Dalam literatur fikih klasik, setidaknya ada lima jenis harta yang wajib untuk dizakati: binatang ternak, emas dan perak (barang berharga termasuk uang), barang dagangan, harta galian dan hasil pertanian. Belakangan, cakupan harta wajib zakat ini mengalami perluasan makna seiring perkembangan dan kompleksitas kegiatan perekonomian.
Maka muncullah istilah zakat profesi, zakat saham dan obligasi, zakat investasi, zakat sarang burung walet dan seterusnya seperti yang bisa kita jumpai dalam literatur-literatur fiqih kontemporer. Pada prinsipnya, berzakat merupakan strategi berbagi dan peduli yang diajarkan Rasulullah SAW untuk mewujudkan kehidupan sosial yang lebih adil dan merata.
Strategi ini terus dilanjutkan oleh Abu Bakar as-Shiddiq setelah Rasulullah wafat. Abu Bakar bahkan menabuh genderang perang terhadap mereka yang menolak bayar zakat. Kegemilangan peradaban zakat pun mulai dirasakan, khususnya pada masa pemerintahan Umar bin Khattab yang menginisiasi kehadiran baitul mal sebagai lembaga yang mengurusi keuangan umat Islam saat itu.
Bahkan, ketika pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, optimalisasi pengelolaan zakat, infaq dan sedekah betul-betul telah mampu mewujudkan masyarakat tanpa orang miskin. Sebuah kegemilangan yang barangkali telah mengilhami Negara Barat dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Terbukti, pada tahun 1536 M, parlemen Inggris mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan setiap pegawai pemerintah untuk menyisihkan sebagian pendapatannya demi membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Meski undang-undang ini tidak berjalan sesuai harapan, tetapi ia menjadi embrio kelahiran undang-undang fakir miskin Inggris pada 1601 M. Langkah ini kemudian diikuti oleh New Zealand, Denmark, dan Amerika Serikat. (Yusuf Kamal, 1986). Ada satu paradigma yang ingin diwujudkan dalam praktik zakat, yaitu merubah penerima zakat menjadi muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) di kemudian hari.

Jumat, 13 Februari 2015

Saya anti korupsi?


Ada yang menarik dari gerakan Save KPK yaitu membuat semacam meme berupa foto diri dan sebelahnya tertulis "Saya perempuan anti korupsi". Bagus dan perlu, tapi saya tidak mau ikut dalam kampanye tersebut. Dari dulu saya tidak berani bilang, "Saya anti korupsi." Baik sebagai person ataupun sebagai gender perempuan. 



Kenapa? Bikin KTP, saya kasih duit ke orang kelurahan, lapor polisi karena kehilangan dompet, saya kasih duit. Ditilang, saya kasih duit supaya SIM saya gak ditahan. Belum lagi mengurus surat keterangan lainnya di institusi pemerintah. Berarti saya kan juga pelaku. Dan ini dilakukan berjamaah, artinya hampir sebagian besar orang Indonesia, minimal di Jakarta melakukan hal yang sama. 

Ada sejumlah orang yang saya kenal baik dituduh dan terbukti melakukan korupsi berdasarkan UU dan dipenjara. Ada yang memang sengaja mencari CELAH hukum untuk memperkaya diri dan kelompoknya, ada yang dicari-cari CELAnya agar dijadikan koruptor. 

Saya belum tahu banyak dengan kasus Mandra, meski seorang teman yang dari fakultas hukum menjelaskan kepada saya adanya pasal karet dalam UU korupsi. Saya tidak tahu dan tidak mau mengambil kesimpulan apakah Mandra bersalah atau tidak, karena itu bukan bidang saya. Tapi moral story-nya adalah kita harus banyak baca dan sejumlah UU di Indonesia terkait bidang yang kita geluti, karena banyak pasal yang belum jelas atau multi tafsir. 

Yang jelas, ini adalah efek dari memilih anggota DPR dan DPRD yang tidak jelas asal usul dan kapasitas pribadinya. Banyak pemilih, memilih caleg asal-asalan, asal populer, asal dibagi duit, asal dari keluarga yang bapaknya dulunya pejabat dsb, tapi bukan kapasitasnya khususnya dalam memahami problema masyarakat dan menyusun UU untuk mengatasinya.

Anggota parlemen, apakah nasional atau provinsi, dipanggil juga sebagai "lawmaker" dalam bahasa Inggris. Karena mereka adalah pembuat undang-undang. Jadi, salah satu kompetensi mereka dalam rekutmen sebagai caleg oleh partai politik seharusnya adalah kemampuan mereka merumuskan masalah dan solusinya dalam rancangan undang-undang dan memperjuangkannya hingga menjadi undang-undang. 

Yang kita lihat sekarang adalah lebih dari separuh anggota parlemen nasional Indonesia (DPR RI) periode 2014 - 2019 adalah pengusaha. Lalu bagaimana dengan produk yang akan dihasilkannya yaitu undang-undang?

Minggu, 08 Februari 2015

Bahasa yang paling sesuai logika manusia???

aya mendapat broadcast ini di grup WA pengajian beberapa hari yang lalu dan merasa tergelitik untuk memberikan komentar sesuai dengan pengetahuan saya sebagai sarjana bahasa Jerman. Ditambah lagi, saya paling sebel dengan orang yang hakul yakin mengatakan, "hanya satu-satunya....., yang paling".... Menurut saya, berat sekali untuk mengatakan sesuatu dalam bentuk superlatif, karena artinya sudah melakukan penelitian di bidang dan kategori yang sama.
Ini tulisan aslinya: Bahasa Arab adalah bahasa yang PALING sesuai dengan logika manusia. Misalnya kalimat “ana masrurun bimuqobalatik” (saya disenangkan [senang] karena bertemu denganmu). Maka, bahasa Arab menggunakan “masrurun”, dalam bentuk maf’ul (objek penderita) , bukan “saarrun” (fa’il/pelaku). Karena ada sesuatu yang membuatnya senang yaitu bertemu, tidak mungkin ia senang sendiri jika tidak ada yang membuatnya senang. Bandingkan dengan bahasa Indonesia, “saya merasa senang” dan bandingkan pula dengan kalimat “ana qoodimun” (saya datang) menggunakan bentuk fa’il (pelaku) karena memang ia melakukannya. Ustad Aris Munandar, SS, MA
Pertama, saya harus menulis ulang paragraf tersebut agar saya sendiri paham. Kalimat-kalimat dalam paragraf ini banyak yang tidak efektif dan muter-muter dalam menjelaskan. Ini versi saya:
Bahasa Arab adalah bahasa yang PALING sesuai dengan logika manusia. Misalnya kalimat “ana masrurun bimuqobalatik” (saya disenangkan [senang] karena bertemu denganmu). Kata “masrurun” (gembira) dalam bahasa Arab digunakan dalam bentuk maf’ul (objek penderita) , bukan “saarrun” (fa’il/pelaku). “Bertemu” adalah sesuatu yang membuatnya senang, tidak mungkin seseorang merasa senang sendiri (secara otomatis), jika tidak ada yang membuatnya senang. Bandingkan dengan bahasa Indonesia, “saya merasa senang” dan bandingkan pula dengan kalimat “ana qoodimun” (saya datang) menggunakan bentuk fa’il (pelaku) karena ia pelakunya.
Kedua, tadinya saya mau membandingkan kalimat “ana masrurun bimuqobalatik” dengan kalimat bahasa Inggris, “I am glad to see you” (saya senang bertemu kamu), tetapi karena dikatakan menggunakan obyek penderita dan bukan pelaku, maka perbandingan dengan bentuk Dativ bahasa Jerman lebih tepat untuk mengkomparasikannya.
Untuk makna yang sama, bahasa Jerman memiliki kata “gefallen” yang artinya “menimbulkan suka bagi/kepada”. Misalnya “saya suka buku itu” adalah “Das Buch gefällt mir” atau “Buku itu menimbulkan rasa suka kepada saya”. Buat saya dan sebagian besar orang Indonesia, kalimat ini tidak praktis, jadi lebih suka diterjemahkan menjadi “saya suka buku itu”. Meskipun bahasa Jerman juga punya kalimat lain untuk hal ini. Atau dengan kata lain, jika kita ingin mengatakan “saya suka buku ini”, kita bisa menggunakan kalimat “Ich mag das Buch” atau “Das Buch gefällt mir”. Kata ‘saya’ dalam kalimat yang pertama menggunakan kata ‘ich’ sebagai subyek atau dalam linguistik versi bahasa Arab disebut “fa’il”. Sedangkan kata ‘saya’ dalam kalimat yang kedua menggunakan kata ‘mir’ yang merupakan obyek penderita” atau dalam linguistik bahasa Arab disebut “maf’ul”.
Ketiga, penulis,Ustad Aris Munandar, SS, MA, meminta pembaca membandingkan antara kalimat “saya merasa senang” dengan kalimat “ana qoodimun” (saya datang) dalam bahasa Indonesia.
Menurut saya, kedua kalimat tersebut tidak bisa dikomparasikan karena memang berbeda. Kalimat “saya merasa senang” adalah kalimat yang menggunakan adjektif atau kata sifat, sedangkan kalimat “saya datang” adalah kalimat dengan menggunakan kata kerja intrasitif, kata kerja yang tidak butuh obyek. Tapi, kalau ingin menunjukkan bahwa kedua kalimat dalam bahasa Indonesia ini memiliki kata ‘saya’ sebagai subyek atau pelaku atau fa’il, bisa. Yang harus dikemukakan oleh penulis adalah bahwa para pembaca atau pembelajar bahasa Arab harus memperhatikan bahwa kata kerja dapat mengubah bentuk subyek. Dan ini ternyata bukanlah dominasi bahasa Arab saja, tetapi juga ada di dalam bahasa lain di dunia, misalnya bahasa Jerman.