Sabtu, 04 Agustus 2018

Peluncuran dan Bedah Buku Hari-hari Terakhir Bersama GusDur


Pers Rilis Peluncuran dan Bedah Buku Hari-hari Terakhir Bersama GusDur
Museum Nasional, Rabu, 25 Juli 2018

Langkah Perjuangan Demokrasi

“… Seperti kepada sahabat dekatnya, Abdullah Syafei’ie secara terbuka mengemukakan kegelisahannya sebagai orang Aceh. ‘Sejak jaman kolonial Belanda, kami tidak pernah merdeka!’ katanya dengan nada mengeluh sekaligus memprotes. ‘Tapi kenapa kita harus terlibat konflik?’ saya balik bertanya, mengajukan apa yang ada dalam pikiran. …” Itulah sepenggal kisah dalam buku Hari-hari Terakhir Bersama Gus Dur karya Bondan Gunawan.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana Bondan sebagai Pjs Sekretaris Negara (Sesneg) menemui Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 16 Maret 2000. Pertemuan itu ia tempuh untuk melakukan pendekatan kemanusiaan kepada sesama anak bangsa yang tidak puas terhadap pemerintah pusat.
Kisah pertemuan Bondan dan Abdullah Syafei’ie tersebut memang sudah beredar di media cetak dan televisi. Namun, kita kali ini bisa melihat lebih rinci latar belakang tersebut diluncurkan dalam sebuah acara sederhana di Museum Nasional, Rabu malam, 25 Juli 2018. Acara peluncuran yang bertajuk “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi untuk Indonesia Raya”, menghadirkan dua pembicara, yaitu Prof. Dr. Mochtar Pabottingi dan Dr. Yudi Latief.
Buku tersebut sebenarnya menceritakan kisah persahabatan Bondan dan Gus Dur yang berjibaku merintis tegaknya demokrasi di Indonesia. Tidak terbayangkan, dua sahabat ini – bersama beberapa rekan mereka – berinisiatif dan memprakarsai berdirinya Forum Demokrasi (Fordem) tahun 1991. Mereka seperti kumpulan “orang aneh” yang mengambil opsi untuk melawan kekuasaan rezim Orde Baru Soeharto. Menurut F. Rahardi, yang menulis Kata Pengantar buku ini, Fordem merintis keberanian berpikir, berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat di negeri ini.
Memang perjuangan berdemokrasi telah muncul jauh sebelum Fordem berdiri dalam sikap 50 orang yang secara frontal berseberangan dengan Orde Baru melalui Petisi 50. Namun, Petisi 50 secara spesifik mengoreksi kebijakan Presiden Soeharto, gerakan yang berbeda dengan Fordem. Fordem menentang arus besar penyeragaman berpikir, yang secara massif diterapkan sebagai sarana depolitisasi di negeri ini pada era kekuasaan Soeharto.
Dengan demikian, buku yang muncul pada momen 20 tahun Reformasi di negeri ini menjadi pelengkap atas puzzle perjuangan menegakkan demokrasi. Demokrasi di Indonesia pasca Reformasi bukan hal yang tiba-tiba saja mewujud. Persahabatan Bondan dan Gus Dur yang dalam perjalanannya membidani lahirnya Fordem merupakan rintisan perjuangan ke arah demokrasi di negeri ini. “Kiprah Pak Bondan di Fordem sangat berpengaruh sebab dia memiliki pandangan yang tajam, seimbang dan sehat mengenai demokrasi yang harus diimplementasikan di Indonesia. Dia peka terhadap deviasi-deviasi kepicikan seakan-akan antara agama dan kebangsaan harus memilih,” tulis Romo Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J., dalam salah satu komentarnya terhadap buku karya Bondan ini.
Persahabatan Bondan dengan Gus Dur telah menorehkan rintisan demokrasi di negeri ini. Bondan – yang berlatar belakang “abangan” dan aktivis pergerakan – berkolaborasi dengan Gus Dur yang lahir dari kehidupan “santri”, yang didasari tradisi intelektualitas kuat. Dua elemen ini saling mengisi dan memberi warna. Tidak mengherankan jika keduanya memiliki kesamaan visi penghormatan terhadap martabat kemanusiaan, kepedulian yang besar kepada golongan minoritas, dan elan perjuangan untuk menempatkan semua warga negara berkedudukan sama di muka hukum. Perjuangan dua figur yang membidani lahirnya Fordem ini dilihat F. Rahardi sebagai jejak-jejak perintis.
“Sebagai perintis, nasib Fordem memang seperti semua perintis, akan mati atau dilupakan setelah yang diperjuangkan tercapai. Bondan sempat sebentar ‘mencicipi’ masuk ke dalam pemerintahan, tetapi segera dihajar kiri kanan, lalu tersingkir,” tulis Rahardi dalam Kata Pengantar. “Nasib perintis memang hanya berada di kawasan tandus, saat tanaman lain belum ada. Dalam kaitan dengan demokrasi, keterbukaan, dan penghargaan terhadap HAM, Bondan dan Gus Dur punya andil sangat besar dimulai pada saat merintis gerakan melalui Fordem,” lanjut Rahardi.
Momen 20 tahun Reformasi – tepatnya pada Mei lalu – menjadi saat yang baik untuk merefleksikan potongan-potongan kisah bagi kondisi bangsa kita dewasa ini. Secara pribadi, Bondan mengungkapkan bahwa banyak cerita muncul dan beredar, yang masih berkabut hingga saat ini. “Yang jelas,” ungkap Bondan, “saya dan Gus Dur menolak segala akitivitas yang dikemas atau bisa ditafsirkan secara konspiratif. Kami berdua saling meyakini bahwa banyak hal yang ada di hadapan kita, sebenarnya dapat dielaborasi, dicari titik temunya dalam proses keterbukaan. Prinsip transparansi menjadi begitu penting dalam proses mencari kesepahaman ini.”  
Proses mencari titik temu bersama itulah yang hingga kini dinilai Bondan sebagai hal yang harus diperjuangkan dalam kehidupan bersama. Huru-hara dan ribut-ribut yang tidak bermutu sudah banyak menghiasi media kita, mempertontonkan banyak sandiwara yang hanya merugikan bangsa dan negara ini. Menurut Bondan, momen kali ini menjadi saat yang tepat untuk merefleksikan perjuangan kita sebagai bangsa selama ini, sembari memberi bekal bagi generasi muda.
“Sebagai orang muda, sudah selayaknya dipahami bahwa bentuk-bentuk kegiatan bersama demi kepentingan yang lebih besar itu pasti penuh resiko dan tidak jarang berbuah cemooh. Namun, tercapainya sesuatu yang kita pikirkan sebagai tujuan yang lebih besar dan luhur, dibanding pujian dan kenikmatan yang bersifat sesaat, harus kita perjuangkan. Jangan pernah lelah!” tegas Bondan. Dia melanjutkan bahwa para pemimpin mestinya harus rela dan berani untuk tidak populer demi tercapainya maksud baik bagi semakin banyak orang, bagi saudara saudari satu tumpah darah.
Pesan tersebut muncul dan seolah menjadi kristalisasi pengalaman Bondan yang hanya sebentar membantu terlibat di puncak pemerintahan pada era Gus Dur. Meskipun demikian, Bondan tetap hidup biasa-biasa saja. Padahal, banyak akitivis yang gagal lalu frustrasi, kemudian berubah dari pemberi solusi menjadi bagian dari masalah. Namun, Bondan justru tidak banyak omong dan tidak terlalu popular menjadi langganan media, walaupun banyak informasi penting yang bisa digali dari sumber ini. Hal ini dirasakan oleh Gunretno, Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) yang banyak belajar dari Bondan. “Ketika itu, saya terkejut melihat di televisi yang menayangkan pak Bondan mengundurkan diri sebagai menteri untuk mempermudah penyidik memeriksanya karena tuduhan korupsi. Sebuah keputusan sangat berani karena tak  semua orang bisa legawa. Sampai sekarang, mana ada pejabat publik yang berani mengundurkan diri jika belum divonis pengadilan?” jelas Gunretno yang masih terus berjuang bersama masyarakat Kendeng hingga kini.
Buku karya Bondan yang diluncurkan ini mengisahkan perjuangannya bersama Gus Dur di luar pemerintahan. Meskipun hanya sebentar di dalam pemerintahan karena dihantam kiri-kanan, kiprah mereka meninggalkan banyak kemajuan bagi kebaikan bersama di negeri ini. Pergaulan mereka dengan berbagai elemen sesama anak bangsa dari aneka latar belakang, menyemaikan benih-benih semangat persaudaraan sejati yang bisa kita nikmati hingga kini.
Dua sahabat ini memiliki sebutan untuk masing-masing yang khas. Bondan bersama beberapa rekan seperjuangannya berhasil menyematkan julukan istimewa bagi Gus Dur sebagai ‘Guru Bangsa’. Sementara itu, Gus Dur menyebut Bondan sebagai “banteng yang berkeliaran di mana-mana, di luar habitatnya” – sebagai kiasan bahwa dialah seorang nasionalis, Marhaenis, atau Soekarnois yang bergerak di luar organisasi resmi kaum nasionalis. Bahkan, ketika berkunjung ke Israel, Gus Dur memperkenalkan Bondan di forum internasional sebagai seorang Soekarnois dan tokoh klandestin pelanjut pemikiran Soekarno di zaman pemerintahan rezim Orde Baru Soeharto.
Suatu ketika, Gus Dur pernah mengatakan kepada Bondan bahwa karena dirinya mendalami dan memahami kitab kuning, dia (dan para kyai NU) percaya bahwa “setiap masalah selalu ada jalan keluarnya. Betapapun rumitnya, selalu bisa dicarikan solusinya, tetapi bukan menyederhanakan masalah.”
Inilah yang merujuk pada nilai-nilai ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah. Menurut Gus Dur, itulah sebabnya dalam konteks nasional, pemuka-pemuka Islam di Indonesia memilih NKRI sebagai negara-bangsa (nation state) yang mengutamakan wawasan serta pendekatan kebangsaan dan bukan negara Islam!

Terkait refleksi kebangsaan tersebut Bondan menandaskan bahwa di Indonesia, tidak pernah terjadi pergantian kekuasaan secara radikal! “Ketika terjadi instabilitas politik,” tegas Bondan, “tak pernah ada presiden yang ingin mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, misalnya membenarkan diri lalu memenangkan konflik horizontal.” Menurut refleksinya, presiden Indonesia berusaha menyatu dengan rakyatnya. Itulah yang terjadi pada Soekarno. Sebaliknya, tidak pernah ada percobaan kudeta secara radikal yang didukung, lalu dibenarkan oleh rakyat.”Inilah salah satu keutamaan kita sebagai bangsa yang besar.”

Oleh karena itu, melakukan reformasi pada hakikatnya berarti melakukan pemurnian.  Dikaitkan dengan momen 20 tahun Reformasi di Indonesia, gerakan reformasi – di satu pihak – muncul sebagai reaksi berupa penolakan terhadap berbagai penyimpangan, kekeliruan, penyalahgunaan wewenang, yang berakibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pasca pemerintahan Orde Baru. Sedangkan di lain pihak, reformasi merupakan upaya memasuki era baru untuk membenahi dan mengembalikan sistem dari negara kekuasaan menjadi negara kesejahteraan yang berkeadilan sosial. “Maka, demokrasi politik saja tidaklah cukup, harus ada demokrasi ekonomi. Inilah demokrasi Indonesia yang sesungguhnya. Harapan saya, kita – terutama generasi muda – dapat bersama-sama bergandengan tangan menciptakan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi bagi Indonesia Raya,” demikian Bondan Gunawan. (*)