Kamis, 16 Juli 2015

Renungan di Malam Takbir 16 Juli 2015

Sejak menjelang Maghrib, mata saya berkaca-kaca. "Aduh, ini hari terakhir puasa. Besok lebaran". 

Saya bukan orang yang mendewa-dewakan bulan Ramadhan, meskipun saya tahu bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat penting. Tetapi toh waktu akan terus berjalan, setelah Ramadhan dan Idul Fitri, maka akan tiba waktu pergi berhaji, yang juga penting bagi umat muslim. Demikian juga waktu sebelum bulan Ramadhan. Kalau diperhatikan, semua bulan dalam kalender Hijriah punya keistimewaan. 


Dan saya bukan orang yang mengiyakan dan mengekor orang banyak. Banyak orang yang berkata atau minimal menulis di wall Facebook-nya mengenai penyesalan ketika Ramadhan berakhir. Jujur saja, saya tidak terkesan. Entah mereka menulis dari hati yang paling dalam atau hanya sekedar menunjukkan kesholehan. Kalau sholeh alhamdulillah, kalau sekedar ikut-ikutan atau supaya dibilang sholeh, itu urusan yang di atas. Bukan urusan saya. Urusan dan tugas saya adalah menjalankan kewajiban saya, berpuasa, sholat, memberikan zakat dsb, bukan mengurusi dan memikirkan pendapat orang lain. 

Setelah buka puasa untuk yang terakhir kali, saya pergi ke mesjid untuk menyerahkan zakat fitrah, zakat mal dan infaq shodaqoh. Saya mengeluarkan lembaran-lembaran uang. Dan saya kembali berkaca-kaca, hati saya meredup. Banyak sekali lembaran yang saya berikan kepada petugas zakat. Saya menulis ini bukan riya, bukan pamer, bukan sombong. Tapi saya terkejut sendiri. 

Lima tahun lalu, saya cuma menyerahkan uang untuk zakat fitrah dan infaq yang tak seberapa jumlahnya. Dua tiga tahun kemudian, nilai infaq saya bertambah. Tapi tahun ini, alhamdulillah. Saya teringat kata-kata ini, "Merugilah orang yang amalnya hari ini sama dengan hari kemarin. Celakalah orang yang amalnya hari ini lebih buruk dari hari kemarin." Sewaktu keadaan keuangan saya masih fluktuatif, saya bertekad bahwa tidak boleh begini terus menerus. Setelah berjuang sekian lama, alhamdulillah. Setoran infaq saya meningkat. 

Satu pendorong tekad saya adalah "Jika kamu bersyukur, pasti akan aku tambah (nikmat-Ku) untukmu" QS Ibrohim:7. Ya, saya bersyukur untuk setiap langkah yang saya dapatkan. Jika pun mengalami kemalangan, kegagalan, musibah, saya berusaha bersyukur. Saya mencoba menghindari kata "untung" dan menggantinya dengan kata "alhamdulillah". Meskipun kata "untung" juga bermakna positif. Jadi, daripada saya berkata, "untung saya selamat, untung cuma rugi 25 ribu." Saya berusaha menggantinya dengan, "Alhamdulillah, saya selamat". "Alhamdulillah, saya cuma rugi 25 ribu." 

Saya juga berusaha semakin ikhlas dan menjauhkan dari uang. Uang itu penting. Yang bilang uang itu tidak penting, berarti dia tidak pernah kekurangan uang dalam waktu yang lama. Tapi saya tidak mau terpaku dan terikat dengan uang. Dari dulu saya berprinsip, bekerja dulu, nanti uang akan datang menghampiri. Ya, dan itu terbukti. Saya selama ini bekerja di kepemiluan secara volunteer, dibayar sekedarnya. Karena saya memiliki pekerjaan yang lain yaitu mengajar, saya tidak memusingkan hal itu. Tapi lama kelamaan orang mengenal saya dan mempercayai saya dan membayar saya dengan bayaran yang makin lama makin lumayan. Bahkan lebih besar daripada profesi guru yang selama ini menghidupi saya. Alhamdulillah. 

Dan mata saya kembali berkaca-kaca, hati tersekat ketika membaca doa berzakat. Alhamdulillah, saya bisa naik pangkat di dunia. Mudah-mudahan nilai akhirat saya juga naik pangkat. 

Ramadhan telah berakhir, bulan Syawal tiba dan bulan Zulhijah akan datang. Kapankah kematian akan datang? Bekerja di daerah konflik yang tidak berjarak dengan kematian, membuat saya semakin sadar bahwa hidup hanya sementara, sangat sementara. Semenjak menandatangani "Surat tidak menuntut kalau terjadi kematian atau kecelakaan" dari organisasi yang mengundang saya ke daerah konflik di tahun 2009, saya makin berserah diri. Banyak yang bertanya, "Kamu tidak takut mati?" Tahun 1999, ada wartawan NHK yang bertanya ke saya tentang hal itu, saya masih bergidik. "Saya tidak takut mati, tapi saya belum banyak melakukan apa-apa. Sekarang, "Kalau memang takdirnya harus mati, ya mati. Itu sudah pasti. Dan itu bisa terjadi di manapun." 
Perpustakaan pribadi saya

Garis tipis kematian begitu dekat, ketika hotel kami diserang oleh kelompok militan pada malam Tahun Baru Afghanistan, 20 Februari 2014. Saya dan sejumlah teman meninggalkan tempat itu ke kamar masing-masing 15 menit sebelum kejadian. Meski demikian, seorang teman dari Paraguay, Luiz Maria Duarte, meninggal dalam kejadian itu. Beritanya bisa diklik di sini. Karena kejadian yang begitu cepat, saya hanya terpaku dan tidak menangis ketika mendengar laporan, "Luiz can't make it."

Juli 2014, surat tersebut bertambah lagi dengan "Pemberian hak waris dan penggunaan warisan ketika meninggal". Maka, saya pun harus merancang siapa saja dari keluarga saya yang berhak untuk mengajukan klaim asuransi jika saya meninggal di tempat tugas, dan masing-masing akan saya beri berapa persen.  Bekerja dengan bule, membuat saya berfikir semakin logis dan realistis. Termasuk mempersiapkan kematian, minimal urusan duniawi. 

Ketika berbelanja baju sekarang-sekarang ini saya berfikir, apakah saya perlu baju sebanyak ini? Ketika membeli buku yang merupakan barang favorit saya, saya berfikir, siapa yang akan mewarisi buku-buku saya jika saya meninggal nanti? Buku saya keren-keren, karena banyak yang dibeli di negara saya bertugas. Sayang sekali dan saya gak terima kalau buku saya nanti cuma dikilo-in. Karena itu saya mengambil keputusan, bahwa buku-buku tentang politik akan saya berikan kepada Perpustakaan Ilmu Politik UI, tempat saya kuliah S2. Insya allah akan banyak bermanfaat, karena sebagian buku-buku saya tidak dijual di Indonesia. 

Takbir berkumandang dari pengeras suara mesjid. Persiapan sholat Ied sudah disiapkan, supaya besok tidak telat sholat Ied. Selamat Hari Raya Iedul Fitri, Mohon Maaf Lahir Batin. Semoga puasa kita sebulan di bulan Ramadhan menjadi penghapus dosa-dosa yang telah kita perbuat. Aamiin YRA.