Jumat, 19 April 2013

Being Queen Bee - Menjadi Ratu Lebah

Bagaimana rasanya bagi wanita yang bekerja dengan lingkungan yang kebanyakan kaum pria? Kamis malam (18/4) mbak Teresita Lystiani Indah Sari yang bekerja di Exxon Mobil berbagi kisah perjuangannya bekerja di lingkungan perminyakan.

Sebenarnya, bekerja di mana sama saja. Tetapi ada challenge tersendiri bagi wanita yang bekerja di lingkungan kebanyakan laki-laki apalagi bekerja sebagai golongan minoritas dalam lingkungan kerja internasional seperti halnya mbak Sita. 

Challenge sebagai wanita di lingkungan kerja dominan laki-laki membuat wanita harus melakukan pembuktian bahwa memang mereka mampu melakukan kerja tersebut.   


Lebah dan Ratu Lebah

Poin-poin penting lainnya yang dibahas mbak Sita adalah :
1. The most important thing is ability to add value.
Makin banyak wanita yang bekerja di luar rumah, tetapi wanita yang menjadi level manajer dan CEO hanya sedikit. Bisa jadi, karena perusahaan tidak memerlukan gender dalam level manajer. Kaum wanita yang mampu masuk ke level tersebutlah yang harus memberikan added value kepada perusahaan, sehingga perusahaan merasa perlu menarik mereka untuk menjadi manager di perusahaan tersebut.
   
2. Do not spend too much time over-analyzing discrimination
Jangan kebanyakan mikir, aduh, saya cuma perempuan, aduh nanti begini, nanti begitu. Just do it.

3. Do not silent: CONTRIBUTE
Di manapun, kita harus menunjukkan ke khalayak ramai termasuk dalam perusahaan, bahwa kita ada dengan memberikan kontribusi, misalnya bersuara dan memberikan pendapat dalam rapat perusahaan.  

4. Optimize successful women - network in your company 
Setelah menjadi wanita sukses katakanlah level manajer atau pimpinan, wanita seharusnya membuat jaringan dengan membuat network atau jaringan dengan wanita lain sehingga makin banyak wanita yang menjadi manajer atau pimpinan di perusahaan tersebut. 

Namun, ada sejumlah fakta bahwa kaum wanita yang bekerja dalam lingkungan laki-laki dan berhasil masuk ke dalam level manajer, kemudian berkesan seperti menghalangi wanita lain untuk masuk ke dalam lingkup manajer tersebut. Sehingga muncul istilah Queen Bee atau Ratu Lebah yang merasa terusik dengan keberadaan wanita lain dalam lingkungannya. 

Kebanyakan alasan yang muncul adalah karena wanita tersebut ingin menjadi the only dan wanita tidak mensupport sesama wanita. Tetapi teori ini dipatahkan, karena para pria pun sebenarnya berkompetisi dan tidak mendukung satu sama lain dna ada kemungkinan menjatuhkan (belum tentu berarti negatif). Tetapi bedanya, kaum pria menganggap hal tersebut sebagai kompetisi dan bagian dari kerja, sedangkan kaum wanita membawanya ke ranah pribadi, sehingga enggan berkompetisi dan melukai satu sama lain.   

5. Embrace your career choice and priorities that possible as women
Wanita bekerja harus membuat prioritas, apakah karir atau keluarga atau hal lain. Dan itu sah-sah saja.


Noodle Pizza, salah satu menu di D'Marco Cafe yang menjadi pilihan saya di malam itu

Diskusi kecil yang diselenggarakan oleh Rotary Jakarta Batavia ini berlangsung menarik di D'Marco Cafe yang terletak di Jl. Sabang sebelah Hoka-hoka Bento.

Buat saya, tema ini menarik karena sayapun bekerja di lingkungan yang didominasi oleh laki-laki yaitu bidang kepemiluan. Di awal-awal bergabung dengan KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu), saya sudah melihat adanya genderisasi, bahwa perempuan pemantau  memilih pekerjaan administrasi atau bagian konsumsi dan menolak diberi tanggung jawab lebih sebagai kordinator, misalnya. Sehingga saya menjadi satu-satunya perempuan yang memegang pimpinan bahkan pengambil keputusan di KIPP Jakarta Barat dari Oktober 1998 - tahun 2000. Saya menarik sejumlah perempuan untuk menduduki sejumlah posisi penting, tetapi kebanyakan memilih sebagai wakil kordinator saja.

Ada beberapa keuntungan menjadi perempuan di bidang pemantauan pemilu. Beberapa kali memantau pemilu di luar negeri karena tim pemantauan harus gender balance. Pemantau laki-laki diusahakan seimbang jumlahnya dengan pemantau perempuan. Negara lain termasuk Indonesia lebih sering mengirim pemantau yang laki-laki, sehingga saya sebagai perempuan selalu lolos seleksi. 

Sisi buruknya, ada kesan meremehkan, saya lolos karena semata-mata perempuan. Buat saya ini tantangan, saya belajar keras mengenai pemilu baik dari buku, diskusi, training dan sebagainya untuk membuktikan bahwa saya memang paham pemilu dan pantas di posisi yang sekarang ini, bukan karena gender threshold dan bukan karena blessing in disguise.  

Fenomena Queen Bee merupakan satu hal menarik buat saya. Karena orang kemudian melihat saya sebagai Queen Bee yang menolak dan mempersulit perempuan bahkan pemantau laki-laki untuk menjadi pemantau internasional. Padahal saya melakukan seleksi untuk teman-teman KIPP yang berminat untuk menjadi pemantau internasional semata-mata mempersiapkan mereka berdasarkan pengalaman saya selama ini dan apa yang dituntut dalam tugas pemantauan. 

Saya meminta teman-teman untuk memiliki TOEFL minimal 400, karena lingua franca yang digunakan dalam misi pemantauan adalah bahasa Inggris, mulai dari reading materials sebelum berangkat, briefing, pemantauan termasuk meng-interview sejumlah stakeholders kepemiluan, penulisan report dan terakhir debriefing.

Saya meminta teman-teman untuk semakin banyak mempelajari pemilu Indonesia dan teknik-teknik pemantauan pemilu bahkan turun lapangan memantau pemilu dan pemilukada di berbagai daerah di Indonesia. Pemantau internasional dianggap sebagai orang yang berpengalaman dalam kepemiluan, paling tidak di negaranya sendiri, bukan orang yang baru dalam bidang pemantauan pemilu, apalagi sekedar jalan-jalan di luar negeri. 

Jika kemudian saya dituduh sebagai Queen Bee dan menghalang-halangi orang, yah sekarang saya pasrah saja, kalau dulu agak down juga. Saya memang keras dalam menetapkan standar orang yang akan dipilih mewakili organisasi memantau pemilu di luar negeri. Tetapi saya juga sekaligus menyelenggarakan training bahasa Inggris kepemiluan dan juga latihan-latihan role play pemantauan lapangan untuk memenuhi standar tersebut. 

Training yang saya rancang tersebut ternyata persis sama dengan training di Austria musim gugur 2012, di mana saya mendapatkan beasiswa dari pemerintah Austria. 

Senin, 15 April 2013

Makna kata SONTOLOYO dan BAJINGAN Sesungguhnya


Inilah Makna kata SONTOLOYO dan BAJINGAN Sesungguhnya !

Mungkin telinga kita pernah mendengar kata kata sontoloyo atau bajingan, uuups mungkin buat kebanyakan orang dua kata sontoloya dan bajingan memiliki arti kata negatif. Padahal arti sesungguhnya tidak demikian.

Makna atas suatu kata bisa berbeda ditiap daerah. Pada postingan ini admin coba terangkan dikit deh yang sepengetahuan admin Cybermales. Mungkin buat sahabat yang berasal dari pulau jawa pasti sudah pada tahu, tapi buat sahabat nusantara lainnya tidak salah mengerti makna kata SONTOLOYO dan BAJINGAN yang sesungguhnya.

1. Kata Sontoloyo

Menurut kamus besar bahasa Indonesia "SONTOLOYO" bermakna “ konyol, tidak Beres, dan bodoh. Kata yang dipakai sebagai kata makian. Ada tersisip makna kekesalan bagi yang mengucapkannya.

Padahal dalam bahasa Jawa, Sontoloyo adalah sebuah nama julukan atau profesi bagi seseorang atau lebih yang menggembala bebek, dalam bahasa jawanya : "wong sing angon bebek". Biasanya orang yang disebut sontoloyo menggunakan atribut kurang lebih begini:

- Memakai caping (topi khas di sawah bentuknya seperti corong) untuk melindungi diri dari panas terik maupun hujan.

- Membawa tongkat tipis tapi panjang dan diujung tongkat ada plastik atau apapun itu yang bentuknya seperti rumbai-rumbai yang melambai-lambai. Ini dimaksudkan untuk memudahkan menggiring bebek-bebek sampai tujuan dan tidak tercerai-berai.

Tugas dan tanggung jawab Sontoloyo


Sontoloyo harus bertanggungjawab atas semua bebek yang digembalakannya. Bentuk tanggungjawab ditunjukkan dengan bagaimana seorang sontoloyo itu mengarahkan bebek2nya untuk dapat mencari makanan dan berkembang biak sebanyak-banyaknya. Dia mencarikan tempat yang terbaik bagi para bebek yang ditempat tersebut para bebek dapat makan dengan nyaman, dan tidak terusik oleh siapapun.

Ketika menggiring para bebek, dia berada di belakang para bebek, atau dengan kata lain, sontoloyo itu selalu memperhatikan bebek yang berada paling belakang karena biasanya bebek yang jalannya lambat kalau tidak diawasi dengan baik, bebek yang suka jalan di belakang ini bisa-bisa kabur atau bahkan mungkin dimakan ular sawah tanpa sepengetahuan si sontoloyo.

Seorang sontoloyo juga bertanggungjawab untuk memasukkan para bebek kembali ke kandang di malam hari. bahkan kalau ada bebek yang kelihatan kurang sehat, maka sontoloyo akan bilang ke juragan bebek untuk minta uang dan beli obat. Kemudian bebek diobati, si sontoloyo pun berdoa semoga si bebek tidak apa-apa dan cepat sembuh.

Keesokan harinya, seorang Sontoloyo harus bersiap-siap untuk kembali menggembalakan para bebek yang sudah kelaparan. Tapi biasanya sebelum berangkat, sontoloyo memeriksa kandang dan biasanya memunguti telur bebek yang ditelurkan para bebek dalam semalam ini. Telur-telur itu di kumpulkan kemudian diserahkan ke juragan bebek yang kemudian sontoloyo akan mendapatkan bagian dari bagi hasil dengan juragan bebek selain upah yang diterimanya. Itulah yang namanya sontoloyo. Perihal kemudian istilah sontoloyo itu dijadikan ungkapan untuk memaki orang itu adalah merupakan perkembangan yang tentunya tidak ada hubungannya dengan tulisan ini.

Sontoloyo = Penggembala bebek, Bajingan = Penarik pedati sapi
Foto milik blog : http://aspal-putih.blogspot.com

2. Kata Bajingan

Bajingan adalah sebuah istilah kata yang muncul di tanah Jawa untuk menunjuk seorang pengendara gerobak sapi. Lantas kenapa istilah bajingan kemudian bergeser menjadi sebuah kata makian, padahal kata itu adalah merujuk sebuah profesi seseorang.

Dahulu kala pada tahun 1940 an, di daerah Banyumas sarana transportasi sangat sulit untuk ditemui. Masyarakat yang ingin berkegiatan di kota seperti berdagang, atau hanya mejeng biasanya menggunakan jasa gerobak sapi.

Pada saat itu bajingan merupakan satu satunya alat transportasi yang bisa diandalkan oleh masyarakat pinggiran untuk membawa mereka ke kota, selain berjalan kaki tentunya.

Namun kedatangan bajingan ini tidak tentu ditempatnya, bisa siang hari, pagi hari, bahkan tengah malam. Karena ketidakpastian waktu tersebut, masyarakat yang ingin numpang gerobak sapi terpaksa jalab kaki jika tidak berjumpa bajingan.

Nah karena itulah keluar kalimat sedikit sindiran atau umpatan seperti ini : “Bajingan suwe temen sih tekane!” ( bahasa jawa ) yang artinya : "Bajingan lama banget sih datengnya". Dari situ bajingan mengalami pergeseran makna menjadi kata umpatan.

Dahulu pun, umpatan bajingan hanya digunakan sebagai analogi atas keterlambatan sesuatu atau seseorang, misalnya “Sekang ngendi bae koe, suwe temen sih kaya bajingan” yang artinya : Darimana aja kamu, lama bener kayak bajingan. Namun, pada masa sekarang bajingan menjadi kata umpatan yang lebih umum dan tidak merujuk pada kekesalan mengenai keterlambatan atas sesuatu.

Kesimpulannya :
"SONTOLOYO" sejatinya adalah sebutan untuk "PENGGEMBALA BEBEK" atau orang-orang yang dengan setia menggiring bebek dari pagi sampai sore ke daerah perairan sekaligus mengumpulkan telur-telurnya.

BAJINGAN sendiri adalah sebutan bagi KUSIR GEROBAK ( Pedati ) yang ditarik oleh Lembu. Sebutan Bajingan tidak berlaku untuk gerobak/pedati/sado yang ditarik oleh kuda.

Menilik masing-masing arti tersebut jelas tidak ada hal yang salah atau buruk. Namun demikian karena SONTOLOYO dan BAJINGAN sudah menjadi idiom yang menggambarkan hal-hal negatif, kedua komunitas itupun sekarang sudah tidak pernah lagi disebut demikian. Bahasa penyebutannya tidak lagi memiliki kekhasan kultural alias berlaku secara umum. Contohnya SONTOLOYO ya disebut Wong angon bebek.

Padahal komunitas asli SONTOLOYO dan BAJINGAN dalam arti seseungguhnya adalah orang-orang bersahaja yang bekerja menghabiskan tenaga serta waktu untuk menghidupi keluarganya tanpa pernah mengambil hak orang lain. Rasanya sangat tidak tepat bila menyebut PEMERKOSA atau PERAMPOK dengan sebutan BAJINGAN. Kasihan BAJINGAN aslinya.




Sabtu, 13 April 2013

Kultur penggunaan nama keluarga di Indonesia